Hasto menyampaikan bagaimana PDIP pernah membuka diri untuk bekerja sama dengan PD menjelang periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi.
Tepatnya di tahun 2019 saat ada wacana Partai Demokrat ingin bergabung dengan pemerintah.
BACA JUGA:AHY 'Dukung' Jokowi Sebar BLT saat Kenaikan Harga BBM: Bagus Lanjutkan, Jangan Malu-malu
Saat itu Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri tak menolaknya. Bahkan, itu sudah disampaikan langsung oleh elite Demokrat Agus Hermanto.
“Saya sampaikan sikap dari PDI Perjuangan tersebut. ‘Monggo sekiranya Pak Agus Hermanto kalau mau bergabung dalam pemerintahan Pak Jokowi’. Lalu diadakan lobi,” ungkap Hasto.
“Pak SBY memainkan lobi ke Gerindra, ke tempat Pak Jokowi, kemudian tidak mengambil keputusan, tiba-tiba Pak SBY berpidato bahwa di dalam kerja sama itu tidak bisa bergabung karena salah satu ketum keberatan. Nah, itu langsung saya bantah,” sambungnya.
BACA JUGA:Prabowo 'Nyapres' Lagi, Praktisi: Gak Ada Elu Gak Rame!
Bahkan, lanjut dia, malam hari jelang pendaftaran ke KPU terkait capres-cawapres 2019, pihaknya mendapatkan info bahwa Demokrat akan bergabung. Hasto pun langsung melakukan rapat dengan sekjen parpol lainnya.
“Saya tanyakan, ternyata semua enggak sependapat (menolak Demokrat,red). Karena kerja sama koalisinya sudah cukup menjamin stabilitas pemerintahan itu (tanpa Demokrat, red)," imbuh Hasto.
“Ada Golkar, PPP dan akhirnya penawaran terakhir itu kita tolak. Sebenarnya tidak gabungnya Demokrat bukan karena ada penjegalan tapi karena strategi yang salah,” jelasnya.
BACA JUGA:Rapimnas Partai Demokrat, DPC Partai Demokrat Pagaralam Siap Dukung AHY
Hasto menilai, bahwa tuduhan SBY soal jegal-menjegal itu merupakan bagian dari strategi playing victim (seakan-akan korban, red) yang dimainkan SBY sejak lama.
“Tapi strategi itu kan sudah kuno dan enggak perlu bicara skenario victim lah, naikan elektoral,” tukas Hasto.
Karena itu siapapun calonnya, boleh maju sebagai hak konstitusionalnya. “Hanya saja rakyat ingin tahu prestasinya demikian juga calon lainnya,” pungkasnya.