Perang Batak Si Singamangaraja Melawan Gempuran Kolonial Sampai Titik Darah Terakhir
--
Namun waktu terus berjalanTekanan demi tekanan datang.
Belanda bukan hanya kuat secara senjata, tapi juga sabar dan cerdik dalam menumbuhkan infiltrasi.
Satu per satu desa Batak mulai runtuh oleh kombinasi kekuatan militer dan perpecahan internal.
Hingga akhirnya, pada 17 Juni 1907, Si Singamangaraja XII gugur di Dairi Ia mati bersama dua anak lelakinya dalam sebuah pengepungan besar tapi seperti kata orang bijak tubuh boleh tumbang, tapi semangat abadi.
BACA JUGA:Memahami Sejarah Benteng Tolukko: Jejak Kolonial di Pesisir Ternate!
Yang menarik, Perang Batak bukan sekadar kisah perlawanan lokal melawan kolonialisme.
Ia adalah potret benturan dua dunia satu yang dibangun di atas adat, spiritualitas, dan kedaulatan lokal lainnya di atas logika ekspansi ekonomi, modernisasi paksa, dan peta geopolitik Hindia Belanda.
Setelah gugurnya Si Singamangaraja XII, Belanda memang berhasil menancapkan kuku kekuasaan di Tapanuli.
Jalan-jalan dibuka, pos-pos militer berdiri, misi-misi zending masuk ke pedalaman.
BACA JUGA:Sejarah Benteng Otanaha: Peninggalan Sejarah yang Menyimpan Cerita Perjuangan!
Tapi luka yang ditinggalkan Perang Batak tak pernah benar-benar sembuh.
Ia tetap hidup dalam narasi rakyat, lagu-lagu daerah, hingga ingatan kolektif yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Ironisnya, seperti banyak pejuang nusantara lain, pengakuan terhadap Si Singamangaraja XII baru datang puluhan tahun kemudian.
Barulah pada era kemerdekaan, namanya dipatri sebagai Pahlawan Nasional Sebuah pengakuan yang terlambat, tapi tak pernah sia-sia.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
