Mengenal Tunil, Opera Asli Suku Besemah Yang Ternyata Bukan Sekedar Lawakan

Mengenal Tunil, Opera Asli Suku Besemah Yang Ternyata Bukan Sekedar Lawakan

Mengenal Tunil, Opera van Besemah Bukan Sekedar Lawakan-pidi-pagaralampos.com

BACA JUGA:MENGEJUTKAN! Selain Keturunan Majapahit, Ternyata Suku Besemah Memiliki Sebuah Kerajaan Yang Besar

Kembali ke adegan ketika Kasim memasuki panggung utama. Kasim yang disetting sebagai seorang penasehat itu mulai melancarkan petuahnya dengan bahasa Besemah kental. 

“Luk inilah care kami di dusun,”ujarnya kepada seorang lelaki berpenampilan necis di depannya. Lelaki yang mendapatkan petuah nampak tak terima dan tetap pada pendiriannya.

Diceritakan, lelaki bernampilan necis yang kemana-mana selalu menenteng handphone besar itu baru saja pulang dari Jakarta. Dia tinggal di ibukota selama dua malam lalu balik lagi ke dusunnya. 

Nah, suatu malam lelaki mendapati sebuah rumah-setting-nya di atas panggung utama-bujang gadis sedang begareh. Lelaki itu menyindir bahwa di Jakarta tak ada yang namanya begareh. 

BACA JUGA:Mengenal Festival Pelang Kenidai, Tradisi Asli Suku Besemah di Sumatera Selatan Yang Masih Eksis

Gaya bicara lelaki necis ini yang mencampur adukan antara Bahasa Besemah dengan slank semacam loe, gue dan sebangsanya itu, tak urung menuai tawa para penonton. Sekali lagi, ruangan balai heboh. 

Pementasan yang berdurasi kurang lebih 20 menit itu disebut Kasim sukses. Indikatornya, para penonton dapat tertawa dari awal sampai akhir pementasan. “Iya. Penilaiannya ada pada penonton. 

Kalau penonton tidak tertawa samasekali, artinya itu (tunil) sukses,”kata dia membenarkan. Namun, ditekankan Kasim, penonton dapat tertawa lantaran lawakan benar-benar alami, bukan dibuat-buat. 

“Beda antara tertawa lepas dengan cacak tetawe (pura-pura tertawa) yang terkesan dipaksakan,” kata lelaki kelahiran 19 September 1949 ini.

BACA JUGA:5 Suku Asli Yang Ada di Provinsi Sumatera Selatan, Nomor 1 Merupakan Keturunan Majapahit

Namun, tunil yang dipentaskan Kasim dkk pada hari itu bukan hanya semata-mata untuk mengocok perut. Kasim mengakui, bahwa tunil di Balaikota Pagaralam pada 2105 itu, memilik tujuan luas yang boleh dikatakan semacam kritik sosial.  

Diangkatnya tema ini lantaran Kasim dkk menganggap budaya begareh itu sudah tergerus oleh modernisasi. Tentu saja jalannya cerita dibuat sedemikian rupa.

Arus moderinisasi itu diperankan seorang pemuda dusun yang belum lama merantau ke ibukota tapi sudah lupa dengan budaya sendiri. 

“Seorang yang baru dua malam tinggal di Jakarta, eh ketika pulang kampung, tiba-tiba lupa dengan begareh. Padahal begarehan adalah budaya kita besemah yang mengatur tata krama antara bujang dengan gadis,”ujar kakek sembilan orang cucu itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: