Mengenal Tunil, Opera Asli Suku Besemah Yang Ternyata Bukan Sekedar Lawakan

Mengenal Tunil, Opera Asli Suku Besemah Yang Ternyata Bukan Sekedar Lawakan

Mengenal Tunil, Opera van Besemah Bukan Sekedar Lawakan-pidi-pagaralampos.com

PAGARALAMPOS.COM - Bila di Surabaya ada ludruk, maka di Besemah ada tunil. Ya, tunil bolehlah disebut ‘Opera Van Besemah’. Sebuah seni yang bertujuan bukan sekedar untuk menghibur. Tunil bisa lebih dari sekedar lawakan.

MEREKA langsung tertawa terbahak-bahak manakala melihat Kasim berjalan pelan setengah berjinjit memasuki panggung utama. Penyebabnya tak lain karena penampakan seorang Kasim yang aneh. 

Dibilang perempuan iya, laki-laki juga iya. Kostum yang dikenakan Kasim berupa baju kurung plus kerudung di kepala membuat penampilannya mirip seorang kerbai (ibu-ibu). 

Tapi, kostum ini tak dapat menutupi jenggot panjang yang sudah memutih menggantung di dagu Kasim plus kumis tebal di atas bibirnya. 

BACA JUGA:BESEMAH! Satu Dari 12 Suku Yang Ada di Sumsel, Ternyata Suku Besemah Menolak Tunduk Kepada Penjajah

Hari itu, pada 2015 lalu, di balaikota Pagaralam, penampilan Kasim itu memang sengaja dibuat untuk mengocok perut. Di sana, dia bersama sekitar 12 orang lainnya mementaskan tunil-sejenis lawakan khas Besemah. 

“Memang harus demikian. Kalau bisa, sebelum kita bicara, orang sudah tertawa,”ujar Kasim menjelaskan soal tunil, kepada Pagaralam Pos di kediamannya di Dusun Pagar Gading Kecamatan Pagaralam Utara.

Dalam pementasan di Balaikota itu, Kasim dan kawan-kawan menampilkan tunil dengan judul ‘Ragam Perjake’.

Ini merupakan sebuah pementasan tunil yang mengangkat cerita tentang tata cara beghusek dan begareh bujang dengan gadis di Besemah tempo dulu. 

BACA JUGA:Dempoe Ryokan, Bukti Sejarah Kedatangan Penjajah di Tanah Suku Besemah

Tentu pementasan ini dikemas sedemikian rupa buat menghibur. “Bagaimana caranya harus membuat penonton tertawa,”ucap Kasim, yang kini berusia 69 tahun itu.

Adapun penontonnya berasal dari berbagai kalangan di antaranya pelajar, mahasiswa, pelaku seni budaya, tokoh masyarakat, pejabat, hingga warga biasa.

Maka, balaikota hari itu terasa sempit untuk menampung orang yang jumlahnya berbilang banyaknya itu. 

Koor tawa beberapa kali terdengar memenuhi ruangan itu. Beberapa kali terdengar tawa saling bersahut-sahutan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: