PALEMBANG, PAGARALAMPOS.COM - “Ini adalah buku silsilah keluarga kami,” ujar Tjoa Tiong Gie, yang akrab dipanggil Mulyadi. “Kapan dibuatnya dan siapa yang menulis, kami tidak tahu.” Dia membawa buku tebal bersampul hitam, lalu meletakkannya di sebuah meja lawas.
Tak satu pun keluarganya yang bisa membaca aksara Cina. Bahkan, hingga kini, isi sejati buku itu pun masih misteri.
Mulyadi merupakan anak sulung dari Tjoa Kok Liem atau Babe Kohar. Buyutnya bernama Tjoa Ham Hin yang sohor sebagai Kapitan Cina terakhir di pecinan Palembang.
Kami berbincang di ruang tamu, salah satu rumah tinggalan buyutnya di Kampung Kapitan.
Lokasinya di tepian Sungai Musi di Palembang, tepat di seberang Benteng Kuto Besak. Dahulu, benteng itu merupakan tembok Keraton Kasultanan Palembang.
BACA JUGA:Sejarah Sang Kapitan Cina di Palembang, Peristirahatan Terakhirnya di Tepian Musi
Toponimi “Kapitan” mengacu pada tempat tinggal kapitan Cina di kampung ini. Jabatan kapitan diangkat oleh VOC dan berlanjut turun-temurun hingga pemerintahan Hindia Belanda.
Menurut catatan Mayor William Thorn serdadu Inggris yang turut menaklukkan Palembang pada 1812, daerah pecinan ini telah dihuni sekitar 700 keluarga dengan beberapa pedagang besar dan perajin.
“Kapitan” merupakan bahasa Portugis yang mengacu pada jabatan seseorang yang mengatur komunitasnya.
Meski bergelar kapitan, jabatan ini tidak berkaitan dengan kegiatan militer. Jadi Kapitan Cina di sini hanya berwenang di komunitasnya dalam urusan perdagangan, memungut pajak, izin usaha, izin tinggal, hingga urusan surat lahir dan surat kawin.
BACA JUGA:Menelusuri Benteng Kembar di Palembang, Dimanakah Lokasinya Sekarang?
Di kampung ini terdapat tiga rumah abad ke-19 atau akhir abad sebelumnya, tinggalan leluhur Sang Kapitan Cina.
Rumah itu bergaya Hindia: perpaduan antara arsitektur rumah limas Palembang dan rumah Eropa yang berpilar.
Selayang, wajah dan perawakan Mulyadi mirip dengan lukisan engkong buyutnya yang berdiri gagah dengan busana opsir Cina zaman kolonial.
Kini, tinggal dua rumah mewah saja yang menjadi hak milik keluarga Tjoa. Satu rumah digunakan sebagai tempat tinggal, sedangkan lainnya sebagai rumah abu.