Sayangnya, pemerintah kota hanya peduli dengan taman di depan rumah kapitan itu, sedangkan rumah Kapitan Tjoa sebagai bangunan cagar budaya Provinsi Sumatra Selatan justru dibiarkan tak terawat.
BACA JUGA:Serunya Menggoyang Lidah di Palembamg, Restoran Hits Dipinggiran Sungai Musi
BACA JUGA:Restoran di Palembang Yang Wajib Kamu Cobain, Instgramble dan Bernuansa Tempo Doeloe
Mulyadi mencermati halaman demi halaman buku silsilah itu; membuka dari kiri ke kanan. Buku itu ditulis pada lembaran kertas bergaris biru tipis, dengan aksara Cina bertinta hitam.
Dia berhenti pada satu halaman yang tampaknya sengaja disembunyikan oleh penyusun buku ini.
“Saya saja baru tahu sekarang,” kata Mulyadi menghentikan pembicaraan kami. Lalu, dia menunjuk seraya berseru, “Ini ada peta, sepertiya permakaman!”
Kami menyaksikan denah permakaman terdiri atas belasan nisan. Tampaknya seseorang telah menambahkan denah ini dengan goresan pensil.
Dengan rasa ingin tahu, dia perlahan-lahan membuka kertas berperekat yang menutup selembar halaman.
BACA JUGA:Wisata Apa yang Terbaru di Palembang 2024? Temukan Rincian Harga Tiketnya di Sini!
Semua mata tertuju pada goresan pensil di balik kertas: dua baris aksara Arab pegon yang ditulis dengan pensil, menyatu dengan untaian kalimat beraksara Cina.
Temuan aksara arab itu tampaknya menegaskan sejarah hubungan antara keluarga Kapitan Cina dan keluarga Kesultanan Palembang.
Tjoa Tiong Gie, yang akrab dipanggil Mulyadi (kanan), dan saudara iparnya, Eng Sui, menunjukan dua pipa candu warisan Kapitan Tjoa Ham Hin di beranda rumah kapitan itu. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)
Satu setengah tahun kemudian, Agni Malagina bervakansi ke pecinan Palembang, dan berkesempatan membaca beberapa halaman buku warisan itu secara sekilas. Dia merupakan seorang sinolog dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.
BACA JUGA:Apa Saja Cafe Terbaru di Palembang 2024 yang Wajib Dikunjungi? Inilah 9 Rekomendasinya!
Pada kesempatan lain, dia menuturkan kepada saya bahwa untaian kalimat beraksara Arab itu menggunakan bahasa Melayu.
“Pada tahun 1271 [Hijriah] tanggal 27 bulan Rabiul Akhir, malam Rabu [...] coba ungkap buat pulang ke rahmat Allah,” demikian kata Agni mencoba membaca kalimat yang sebagian sudah tak terbaca itu.