Sultan Agung Tak Hanya Raja! Inilah Strategi Ekspansi Mataram yang Mengejutkan
--
PAGARALAMPOS.COM - Orang mengenalnya sebagai penguasa terbesar Kesultanan Mataram.
Tapi Sultan Agung bukan sekadar raja yang duduk di atas singgasana emas, menerima laporan sambil menyeruput teh panas dari cangkir porselen.
Ia adalah raja yang turun langsung ke medan perang, pemikir yang melahirkan kalender Jawa, dan pemimpin yang menantang hegemoni VOC di Batavia.
Di masanya, Mataram menjelma menjadi kekuatan paling dominan di tanah Jawa, bahkan hingga ke luar pulau.
BACA JUGA:Menyikapi Sejarah Benteng Otanaha: Jejak Pertahanan di Atas Danau Limboto!
Kisah Sultan Agung adalah kisah tentang ambisi besar dalam wadah tradisi.
Ia memerintah dari 1613 hingga 1645, menggantikan ayahandanya, Panembahan Hanyakrawati. Di tangan Sultan Agung, Mataram yang semula hanya kerajaan lokal di pedalaman Yogyakarta berkembang menjadi kerajaan yang wilayahnya membentang luas.
Jawa Tengah, sebagian besar Jawa Timur, dan bahkan bagian dari Jawa Barat takluk di bawah benderanya. Namun di balik ekspansi itu, tersimpan strategi, diplomasi, dan tekad baja.
BACA JUGA:Menelusuri Sejarah Benteng Indrapatra: Jejak Kejayaan Masa Silam di Pesisir Aceh!
Sultan Agung sadar, untuk menyatukan Jawa, bukan hanya senjata yang dibutuhkan.
Ia juga menggunakan pendekatan budaya dan spiritual.
Penguatan identitas Jawa dilakukan dengan menyatukan unsur Islam dengan budaya lokal. Dari sinilah lahir kalender Jawa Islam yang hingga kini masih digunakan masyarakat Jawa, Bukan hanya sekadar kalender, itu adalah simbol bahwa kekuasaan tak harus datang dari luar, Ia bisa tumbuh dari dalam, dari akar yang kokoh.
BACA JUGA:Menyikapi Sejarah Prasasti Karang Berahi: Jejak Kejayaan Masa Lalu di Tanah Jambi!
Tapi Sultan Agung tak cukup puas dengan menaklukkan raja-raja kecil di Jawa.
Ia menaruh pandangannya pada kekuatan asing yang mulai mencengkeram pesisir VOC. Perusahaan dagang Belanda itu bukan hanya pedagang rempah, tapi juga penjajah yang sedang mengokohkan posisinya di Batavia.
Bagi Sultan Agung, VOC adalah duri di tengah usaha menyatukan Nusantara. Maka, dua kali ia memimpin ekspedisi militer besar-besaran ke Batavia tahun 1628 dan 1629.
BACA JUGA:Melestarikan Warisan Leluhur: Pesona Upacara Adat Suku Maluku yang Penuh Makna
Ekspedisi itu memang gagal,Batavia tetap bertahan Tapi itu bukan akhir cerita.
Ekspedisi Sultan Agung menandai awal perlawanan serius pribumi terhadap kolonialisme Eropa.
Ia memberi contoh bahwa kekuatan asing bisa dilawan.
bahwa tanah ini bukan milik pedagang-pedagang rakus yang datang dari ribuan kilometer jauhnya.
BACA JUGA:Sejarah Ritual Ma’nene: Upacara Penyucian Jenazah dari Toraja yang Penuh Makna Filosofis!
Bahkan ketika gagal, Sultan Agung tetap dihormati.
Ia wafat tahun 1645 dan dimakamkan di Imogiri sebuah kompleks pemakaman yang ia rancang sendiri.
Di sanalah raja-raja Mataram dimakamkan kemudian.
Ia telah berpulang, tapi pengaruhnya hidup dalam sejarah, dalam budaya, dalam jiwa orang Jawa.
BACA JUGA:Sejarah Gua Telapak Tangan Sangkulirang: Warisan Prasejarah di Kalimantan Timur!
Sultan Agung bukan manusia sempurna.
Ia juga dikenal keras terhadap rakyat yang membangkang, bahkan pernah memerintahkan eksekusi terhadap kerabat sendiri demi menjaga stabilitas kekuasaan.
Tapi begitulah pemimpin besar mereka berdiri di antara dua kutub ekstrem, antara cinta dan kekuasaan, antara pengabdian dan ambisi.
Di zaman sekarang, ketika negara-negara kembali membangun tembok dan menyusun strategi geopolitik, nama Sultan Agung layak kembali dikaji.
BACA JUGA:Sejarah Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto: Dari Kerja Paksa Kolonial hingga Warisan Dunia UNESCO!
Bukan karena perang-perangnya saja, tapi karena kemampuannya membaca zaman. Karena keberaniannya menyusun peradaban. Karena tekadnya untuk membuat Jawa tak sekadar tunduk, tapi bermartabat.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
