Film Propaganda Kolonial Senjata Halus Penjajah yang Tak Terasa
--
BACA JUGA:Sejarah Benteng Nassau: Saksi Bisu Penjajahan VOC dan Tragedi Berdarah di Banda Neira!
Meski dibuat dengan kualitas sinematik yang cukup tinggi untuk zamannya, isi dari film ini sangat bias.
Ia menampilkan kehidupan masyarakat lokal yang harmonis, tanpa sedikit pun menyentuh realitas keras penjajahan kerja paksa, ketimpangan sosial, dan represi politik.
Di balik layar, pemerintah kolonial bekerja sama dengan perusahaan film seperti Java Pacific Film dan dokumentaris Eropa untuk memproduksi film-film tersebut.
Mereka diputar di bioskop-bioskop kota, bahkan keliling ke desa-desa dengan layar tancap.
BACA JUGA:Menyikapi Sejarah Benteng Otanaha: Jejak Pertahanan di Atas Danau Limboto!
Tujuannya jelas memperkuat legitimasi kekuasaan Belanda dan mencegah bangkitnya nasionalisme.
Namun, propaganda selalu punya batas umur.
Seiring meningkatnya kesadaran politik rakyat Indonesia, terutama setelah pergerakan nasional mulai masif, film-film ini mulai kehilangan daya hipnotisnya.
Bahkan, pada titik tertentu, senjata yang digunakan penjajah itu dibalikkan oleh para pejuang kemerdekaan.
BACA JUGA:Menyikapi Sejarah Prasasti Karang Berahi: Jejak Kejayaan Masa Lalu di Tanah Jambi!
Pada tahun-tahun menjelang proklamasi, sejumlah sineas pribumi mulai membuat film dengan semangat kebangsaan.
Tokoh seperti Usmar Ismail dan Andjar Asmara kelak mengambil tongkat estafet untuk mengisi layar lebar dengan narasi tandingan bukan lagi tentang keindahan semu di bawah kolonialisme, tapi tentang perjuangan, identitas, dan martabat bangsa.
Film propaganda di era kolonial bukan sekadar catatan sejarah sinema.
Ia adalah bukti bagaimana gambar bergerak bisa dijadikan alat kekuasaan.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
