Viral Klitih! Ini Sejarah tentang klitih
Viral Klitih--
BACA JUGA:Deretan Air Terjun Lombok Utara, bakalan bikin Kamu Ga Mau Pulang!
Mikrosistem berarti lingkungan terdekat di mana individu berinteraksi dengan orang tua, saudara, guru hingga teman.
Pada mikrosistem ini, khususnya keluarga ataupun orang tua, terjadi penginternalisasian nilai yang muncul akibat adanya interaksi kedua belah pihak.
Mujahidah (2015) menyebutkan bahwa pola pengasuhan orang tua dan lingkup keluarga mengambil peran besar dalam perkembangan karakter seorang anak.
Apabila pola pengasuhan permisif, yang ditandai dengan dominasi dan kebebasan diberikan penuh kepada anak, maka akan menghasilkan karakteristik anak yang berpotensi untuk melakukan pelanggaran norma, perilaku impulsif dan agresif, hingga kurangnya keterampilan secara sosial, seperti klitih. Selain itu, sublevel dari mikrosistem lain yang juga memiliki pengaruh yang besar adalah teman.
BACA JUGA:Fakta Unik Desa Adat Beleq Gumantar Lombok Utara!
Burhmester (dalam Papalia dan Feldman, 2008) menyatakan bahwa teman sebaya dapat menjadi sumber afeksi, simpati, pemahaman, panduan moral, tempat bereksperimen, dan setting untuk mendapatkan otonomi. Penanaman moral yang tidak sesuai dari lingkungan teman sebaya tentu menghasilkan tindakan yang tidak menguntungkan pula. Individu yang berinteraksi secara intens dengan lingkungan pertemanan yang meyakini konsep “melukai orang” seiring berjalannya waktu akan memiliki konsep tersebut dalam dirinya.
Di samping itu, pada sistem yang lebih tinggi, yaitu ekosistem, klitih juga dapat timbul akibat adanya pembiasaan. Ekosistem berada di level lebih besar dari mikrosistem di mana individu tidak terlibat secara langsung, seperti keluarga besar hingga kenalan dari saudara, teman, serta lingkungan tempat kerja orang tua.
Pada sistem ini, konsep-konsep diri yang telah dimiliki individu dalam sistem sebelumnya dapat diperkuat jika konsep tersebut sejalan. Seperti dalam halnya klitih, ketika seseorang memegang prinsip untuk membenarkan tindak “melukai orang” yang ternyata juga didukung oleh ekosistem, tindakan tersebut akan semakin dimunculkan.
Selain teori psikososial Erikson dan teori ekologikal Bronfenbrenner, klitih sebagai salah satu fenomena sosial dapat pula dijelaskan dengan menggunakan teori psikologi sosial, di antaranya teori agresi.
BACA JUGA:Asal Usul Dan Sejarah Penyebaran Islam di Masjid Kuno Bayan Lombok Utara
Agresi adalah suatu perilaku yang dilakukan untuk menyakiti, mengancam, atau membahayakan individu-individu atau objek-objek yang menjadi sasaran perilaku tersebut baik (secara fisik atau verbal) dan langsung atau tidak langsung (Buss, A. H., & Perry, M., 1992).
Klitih
dikategorikan sebagai perilaku agresi karena termasuk perilaku menyakiti orang lain dengan menggunakan senjata tajam yang bertujuan ingin membuktikan eksistensi dan kekuatan fisik dari seseorang. Fenomena klitih memang sedikit berbeda dengan fenomena begal. Jika pelaku begal memang bertujuan untuk merampas barang-barang korbannya, pelaku klitih hanya ingin menunjukkan bahwa dia bisa “melukai orang” dan hal tersebut diibaratkan sebagai sebuah “pencapaian” bagi para pelaku. Mengapa bisa demikian? Karena pelaku klitih didominasi atau bahkan bisa dikatakan seluruhnya dilakukan oleh remaja.
Seperti yang kita tahu, masa remaja adalah masa perkembangan di mana rentan terjadi konflik antara ideal-self dan diri dalam realitasnya. Remaja adalah masa yang penuh dengan tanda-tanya, keraguan, dan pertimbangan.
Selain itu, pada saat remaja, hormon pubertas menyebabkan kondisi emosional menjadi lebih tidak stabil sehingga sering kali mudah merasa marah dan tidak dalam kondisi mood yang baik. Kondisi tersebut lantas menjadi pemicu mengapa remaja rentan mengalami frustrasi (Santrock, 2018).
BACA JUGA:Deretan Air Terjun Lombok Utara, bakalan bikin Kamu Ga Mau Pulang!
Dalam frustration-aggression hypothesis, frustrasi dikatakan sebagai penyebab terkuat atau bahkan satu-satunya penyebab agresi (Dollard & Miller dalam Breuer, 2017).
Frustrasi pada remaja dapat terjadi karena konflik tentang ideal-self yang mereka miliki berujung pada kebingungan akan identitas mereka sehingga mereka melukai orang lain karena hal tersebut (menurut mereka) merupakan salah satu cara untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki identitas.
Akan tetapi, tampaknya masih ada satu hal yang mengganjal. Mengapa kebingungan akan identitas malah berujung terhadap tindakan melukai orang lain? Jawabannya karena terdapat faktor eksternal yang terdiri dari pengaruh lingkungan sosial dan budaya.
Mungkin hal ini terdengar sepele, namun tidak dapat dimungkiri bahwa lingkungan pergaulan turut memengaruhi perkembangan identitas remaja. Remaja cenderung menghabiskan waktunya dengan teman sebaya dan membentuk kelompok-kelompok agar dapat memahami satu sama lain (Santrock, 2018).
BACA JUGA:5 Daftar Sungai Terpanjang di Indonesia
Kelompok pergaulan yang diikuti remaja berpengaruh terhadap perubahan perilaku remaja. Remaja melakukan konformitas, yaitu perubahan perilaku sebagai upaya untuk menyesuaikan diri dengan kelompok yang diikutinya (Santrock, 2018).
Pelaku klitih yang notabene remaja juga melakukan hal yang sama, mereka membentuk kelompok dan menekankan konformitas pada kelompok yang diikutinya. Maka tak heran, apabila para remaja yang berada dalam kelompok pelaku klitih sama-sama memiliki perilaku agresif.
Membahas lebih dalam mengenai konformitas pada kelompok klitih, pada umumnya, konformitas yang dilakukan terkait dengan provokasi. Dengan melakukan provokasi, anggota kelompok klitih akan dihasut untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap menjadi tujuan bersama dari kelompok tersebut.
Dengan demikian, tidak heran mengapa fenomena klitih seakan tidak pernah berhenti dan selalu bermunculan karena proses provokasi yang dilakukan dalam kelompok terus menyebar dan memancing banyak anggota untuk semakin berani melakukan aksi klitih.
BACA JUGA:Harus Tahu! Begini tata cara mengisi Daftar Riwayat Hidup (DRH) Setelah Lulus PPPK!
Selain itu, dalam kelompok klitih juga terjadi proses social learning, yaitu individu akan belajar baik secara langsung maupun tidak langsung mengenai berbagai cara menyakiti orang lain, siapa yang ditargetkan menjadi korban dari agresi, aksi yang pantas digunakan saat melakukan agresi, dan dalam konteks apa agresi dapat dilakukan (Bandura, 1973).
Proses tersebut semakin mempercepat penyebaran perilaku klitih, terlebih dengan masifnya media online di mana konten kekerasan semakin bebas diakses oleh remaja.
Kesimpulan
Fenomena klitih sebagai sebuah istilah yang sudah mengalami pergeseran makna seolah akan terus mengalami pergeseran makna yang negatif apabila kasus klitih masih terus terjadi.
BACA JUGA:Harus Tahu! Begini tata cara mengisi Daftar Riwayat Hidup (DRH) Setelah Lulus PPPK!
Keresahan yang terjadi di masyarakat juga masih akan terus terjadi apabila fenomena ini masih muncul di masa mendatang.
Teori Identity vs Confusion menjelaskan bahwa segala bentuk aktivitas yang mereka lakukan akan sangat berpengaruh terhadap proses pencarian identitas anak dan remaja, termasuk para pelaku klitih ini. Oleh karena itu, dibutuhkan wadah untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki ke dalam kegiatan-kegiatan seperti ekstrakurikuler sehingga mereka dapat memiliki identitas positif.
Selain itu, orang tua, keluarga, dan teman sebaya juga memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pertumbuhan anak dan remaja sebagai lingkungan di level mikrosistem.
Mereka dapat berperan sebagai panduan moral bagi para remaja pelaku klitih dalam bermasyarakat sehingga perilaku yang tidak diharapkan dapat diminimalisasi. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dan stakeholder terkait, namun fenomena klitih masih terus saja terjadi.
BACA JUGA:5 Pantai Di Lombok utara Yang memukau, Nomor 1 Terkenal hingga Manca Negara!
Lantas apa yang harus dilakukan? Beberapa upaya berikut dapat dilakukan sebagai langkah preventif: mengembangkan program ekstrakurikuler di sekolah, melakukan razia senjata berkala di sekolah, memberikan sosialisasi tentang bahaya fenomena klitih, serta yang paling penting dan mendasar adalah mengajarkan nilai-nilai dan norma yang benar di dalam lingkungan keluarga maupun sekolah.
Pendidikan karakter sejak dini dari lingkungan sosial terdasar, yaitu keluarga dan sekolah merupakan salah satu langkah preventif yang bisa dilakukan untuk menghindarkan anak dari pergaulan yang buruk dan perilaku yang menyimpang seperti pada fenomena klitih. Anak diajarkan budaya, norma, serta nilai-nilai yang baik dan benar agar dapat bijak memilih perilaku yang perlu dan tidak perlu diikuti.*
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: