'Lampek Empat Merdike Due' Pengadilan Khas Suku Besemah di Sumatera Selatan, Begini Arti dan Isi Aturannya!

Sabtu 03-02-2024,12:40 WIB
Reporter : Bodok
Editor : Pidi

Bila sebuah persoalan tak tuntas di satu tingkatan, akan diteruskan ke tingkatan di atasnya. “Saya bertugas di rapat kecil Pagaralam,”ucapnya.

Untuk  memutuskan suatu perkara, pengadilan mengacu hukum yang berlaku. Satar menyebutkan, di masa itu, hukum yang berlaku adalah yang dibuat Ratu Senuhun.

Hukum tertulis ini disebut dengan Undang-undang Simbur Cahye.

BACA JUGA:Simbol Kebesaran Alam, Burung Enggang dalam Budaya Suku Dayak di Kalimantan

“Undang-undang Simbur Cahye yang pertama, itu ditulis dengan surat ulu,”ucap Satar. “Di zaman Belanda,  Simbur Cahye ditulis ulang dengan huruf latin,”tambahnya.

Sayang, Satar sudah lupa jumlah pasal yang ada dalam UU Simbur Cahye. Tapi, dia memastikan, UU ini menjangkau ke seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Dicontohkannya, ada satu aturan tentang larangan untuk masuk halaman orang sembarangan.

Larangan ini disebut dengan istilah ‘kumbang melilit kandang’. “Kalau terbukti melanggar, kena denda 200 ringgit,”sebut dia.

BACA JUGA:Ini 7 Ciri Khas Pakaian Adat Suku Kalimantan Indonesia!

Formal dan Non Formal

Gambaran pengadilan adat yang diceritakan Satar itu, disebut Ahmad Bastari Suan sebagai pengadilan formal.

Pengadilan formal, ujar pemerhati sejarah Besemah ini, cirinya-cirinya sudah dilembagakan dan memiliki landasan hukum tertulis.

“Mirip-mirip pengadilan di masa sekarang,”kata Satar, dihubungi Pagaralam Pos.

Jauh sebelumnya, kata Bastari, masyarakat Besemah sudah mengenal yang namanya pengadilan non formal.

BACA JUGA:Kebiasaan Suku Fore di Papua Nugini Ini Bikin Bergidik! Salahsatunya Makan Daging Manusia!

Disebut demikian jelas dia, karena pengadilan jenis ini belum dilembagakan dan tidak memiliki landasan hukum tertulis.

Kategori :