Pemkot PGA

Tragedi Tahta Majapahit, Ketika Cinta dan Kekuasaan Berujung Maut

Tragedi Tahta Majapahit, Ketika Cinta dan Kekuasaan Berujung Maut

Tragedi Tahta Majapahit: Ketika Cinta dan Kekuasaan Berujung Maut--

PAGARALAMPOS.COM - Tidak semua kisah kejayaan kerajaan berakhir dengan kedamaian dan kejayaan yang abadi karena sejarah sering mencatat darah sebagai harga dari kekuasaan yang diperebutkan dengan rakus dan curiga begitu pula yang terjadi dalam bayang kelam runtuhnya Kerajaan Majapahit. 

Di balik kemegahan candi dan kebijakan politik luar negeri yang mengagumkan tersimpan cerita kelam tentang keluarga yang saling membunuh demi sepotong tahta yang tampak berkilau namun menyimpan kutukan. 

Perebutan kekuasaan ini bukan sekadar perebutan kursi raja tetapi juga menjadi titik nadir peradaban yang pernah mempersatukan Nusantara di bawah satu panji. 

Ketika ayah melawan anak dan saudara menjadi musuh maka darah pun tumpah bukan lagi demi rakyat tetapi demi ambisi pribadi yang membakar segalanya.

BACA JUGA:Benarkah Sejarah Itu Penuh Rekayasa Para Pemenang?

Tragedi ini berawal dari wafatnya Raja Hayam Wuruk penguasa besar yang selama hidupnya mampu menjaga keseimbangan antara kekuatan bangsawan dan pengaruh Mahapatih Gajah Mada yang legendaris. 

Namun ketika Hayam Wuruk mangkat tanpa pewaris takhta yang pasti maka lubang besar pun menganga di tengah istana memperlihatkan kerakusan yang selama ini tersembunyi di balik topeng kehormatan. 

Kusuma bangsa yang dulunya disegani berubah menjadi tokoh penuh siasat dan tipu daya satu per satu mulai bermunculan menyatakan hak mereka atas takhta dengan dalih darah yang mengalir di nadi mereka. 

Tapi darah bukan lagi lambang kehormatan karena setiap tetesnya justru berubah menjadi pemicu perpecahan yang kelak menghancurkan segalanya.


Tragedi Tahta Majapahit: Ketika Cinta dan Kekuasaan Berujung Maut--

Putri dari Hayam Wuruk yaitu Kusumawardhani telah dinikahkan dengan Wikramawardhana yang kemudian dianggap sebagai penerus sah oleh sebagian besar bangsawan istana. 

Namun ada pihak lain yang menolak keputusan itu terutama Bhre Wirabhumi anak Hayam Wuruk dari selir yang merasa memiliki hak yang sama bahkan lebih atas kursi kerajaan. 

Perseteruan ini tidak berhenti pada debat atau diplomasi melainkan berubah menjadi perang terbuka yang dikenal sebagai Perang Paregreg salah satu tragedi terbesar dalam sejarah Majapahit. 

Dua kubu yang seharusnya bersaudara justru berperang seakan mereka tidak pernah disatukan oleh darah raja yang sama.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait