Perang Batak Si Singamangaraja Melawan Gempuran Kolonial Sampai Titik Darah Terakhir
--
PAGARALAMPOS.COM - Di balik dinginnya hutan-hutan pegunungan Tapanuli dan aliran deras sungai-sungainya yang meliuk, sejarah menyimpan bara yang pernah menyala hebat Perang Batak.
Sebuah perlawanan yang tak hanya menyuarakan senjata, tapi juga suara jiwa, harga diri, dan warisan leluhur.
Di tengah pusaran kolonialisme Belanda, satu nama berdiri tegak Si Singamangaraja.
Tak semua orang tahu bahwa Si Singamangaraja bukan sekadar gelar, tapi simbol perlawanan spiritual dan politis dari Tanah Batak.
BACA JUGA:Sejarah Benteng Tahula: Benteng Tua yang Menyimpan Jejak Perjuangan di Maluku!
Sejak abad ke-19, dinasti Si Singamangaraja telah memegang peranan penting sebagai raja imam dalam adat dan kepercayaan Batak Toba.
Namun pada era Si Singamangaraja XII—puncak sekaligus akhir dari garis keturunan ini gugurlah simbol itu dalam wujud tubuh, tapi tumbuh dalam makna perjuangan.
Ketika Belanda mulai menggerus kekuasaan lokal demi membuka jalan ke dataran tinggi Batak yang kala itu belum sepenuhnya terjamah kolonialisme mereka berhadapan dengan satu hal yang tak bisa dibeli atau ditundukkan dengan kebijakansemangat.
Si Singamangaraja XII, yang pada awalnya dikenal lebih sebagai tokoh keagamaan, berubah menjadi panglima gerilya.
BACA JUGA:Mengulik Sejarah Patung Worang: Jejak Kepahlawanan di Bumi Minahasa!
Dengan keris di pinggang dan jubah imam di badan, ia memimpin pasukannya dari hutan ke hutan, desa ke desa. Perang Batak bukan satu ledakan singkat, tapi bara panjang dari tahun 1878 hingga 1907.
Selama hampir tiga dekade, Belanda tak kunjung mampu menangkapnya.
Ia bukan prajurit konvensional yang bertarung di medan laga terbuka.
Ia bagai angin di malam hari senyap, tapi meninggalkan jejak Bahkan ketika Belanda mengerahkan ekspedisi militer dengan senjata modern, medan terjal dan loyalitas rakyat tetap menjadi benteng yang kokoh.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
