Dianggap Kriminalitas dan Melanggar HAM? 4 Budaya Adat Istiadat Suku Indonesia Memang Anrh Bin Ajaib!
Dianggap Kriminalitas dan Melanggar HAM? 4 Budaya Adat Istiadat Suku Indonesia Memang Anrh Bin Ajaib! --Net
BACA JUGA:Ternyata Ini Keunggulan dan Kelemahan Motor Honda CRF, Cek Faktanya Disini!
Perkelahian tersebut biasanya melibatkan dua orang atau antar penduduk desa seperti yang sering terjadi di daerah Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan.
Carok dipraktekan dengan bertarung menggunakan celurit sebagai senjata khas masyarakat Madura.
Faktor yang mendorong masyarakat madura melakukan Carok adalah karena merasa harga dirinya telah direndahkan.
Di dalam masyarakat Madura sendiri terdapat ungkapan yang mengharuskan mereka untuk mempertahankan harga dirinya yaitu Lebbi Bagus Pote Tollang Atembang Pota Mata (lebih baik mati, daripada hidup menanggung malu).
BACA JUGA:In My Mother's Skin, Film Horor Filipina, Yuk Nonton!
Ketika seseorang memenangkan pertarungan Carok akan disebut ‘semenang’ sedangkan yang kalah disebut ‘sekalah’.
Pihak yang kalah biasanya akan tewas. Akan tetapi menurut masyarakat Carok pembunuhan yang terjadi tidak berkaitan dengan masalah hukum atau agama.
Masyarakat Madura tidak akan menyebut seseorang yang berhasil memenangkan Carok sebagai pembunuh.
Hal ini mengakibatkan tidak ada hukuman seperti sanksi sosial yang diberikan masyarakat terhadap pihak yang memenangkan Carok.
BACA JUGA:Tahun 2024, Dana BAZNAS Kota Pagar Alam Capai 2,5 M
Dalam praktik Carok, pihak yang berkonflik harus membuat perjanjian terlebih dahulu sebelum melakukan pertarungan.
Akan tetapi seringkali praktik Carok yang dilakukan keluar dari aturan misalnya dengan melakukan penyerangan terlebih dahulu tanpa membuat perjanjian untuk bertarung.
Sama dengan Carok, Siri Ripakasiri juga merupakan budaya yang dilakukan dengan melakukan kekerasan hingga pembunuhan.
Budaya ini berkembang di kalangan masyarakat adat Makassar.
BACA JUGA:MEVVAH! Ini Bus Paling Nyaman Hiasi Jalanan Indonesia, Kek Hotel Berbintang
Siri ripakasiri memiliki arti perasaan malu dari seseorang karena martabatnya telah direndahkan oleh orang lain.
Dalam masyarakat adat Makassar, seseorang yang merasa martabatnya telah direndahkan diharuskan untuk mengembalikan harga dirinya.
Martabat tersebut hanya bisa diperbaiki dengan membunuh orang yang merendahkan harga dirinya. Menurut nilai yang berlaku di masyarakat, seseorang yang telah kehilangan 'siri' (harga diri) tidak lagi dapat dipandang sebagai manusia. Ia dianggap sama rendahnya dengan binatang.
BACA JUGA:MEVVAH! Ini Bus Paling Nyaman Hiasi Jalanan Indonesia, Kek Hotel Berbintang
Sistem nilai ini memandang lebih baik mati daripada hidup tanpa harga diri dengan memperjuangkan Siri.
Siri Ripakasiri tidak hanya dirasakan oleh pihak yang merasa telah direndahkan harga dirinya, tetapi juga oleh seluruh keluarganya.
Hal ini mengakibatkan 'siri' tidak hanya menjadi kewajiban satu pihak saja melainkan semua anggota keluarga.
Pelaksanaan 'Siri ripakasiri' dapat dilaksanakan kapan saja dan di mana saja meskipun permasalahan antara korban dan pelaku sudah terjadi di masa lalu.
BACA JUGA:Hebat! Xiaomi Mendobrak Pasar Tablet di Indonesia dengan Produk Terbarunya, Cek Spesifikasi dan Harganya
Bagi masyarakat adat Makassar, budaya ini bukanlah bentuk balas dendam melainkan kewajiban moral adat yang harus dipatuhi.
Kasus 'siri ripakasiri' yang terjadi di Makassar seringkali disebabkan kasus kawin lari yang tidak mendapatkan persetujuan dari orang tua pihak perempuan.
Selain masalah kawin lari faktor kasus pembunuhan, pemerkosaan, dan pelecehan seksual juga mendorong seseorang melakukan 'siri ripakasiri'.
4. Budaya kawin anak merarik di NTB
BACA JUGA:Tampil Trendi dan Kaki Terlindungi Maksimal, 5 Rekomendasi Sepatu Safety Pria Terbaik 2023
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menempati urutan ke-7 angka pernikahan anak tertinggi di Indonesia pada tahun 2021 lalu.
Tingginya angka perkawinan anak di Nusa Tenggara Barat tidak bisa dilepaskan dari faktor budaya.
Keberadaan budaya merarik di NTB menjadi pemicu tingginya kasus pernikahan dini.
Dalam tradisi masyarakat Sasak tradisi kawin lari dikenal dengan merarik.
Masyarakat Sasak mengartikan merarik sebagai proses pernikahan yang didahului dengan membawa lari atau “menculik” seorang gadis sebelum prosesi pernikahan secara agama dan hukum nasional dilaksanakan.
BACA JUGA:Hebat! Xiaomi Mendobrak Pasar Tablet di Indonesia dengan Produk Terbarunya, Cek Spesifikasi dan Harganya
Istilah merarik sendiri berasal dari kata dalam bahasa Sasak. Ada beberapa pendapat mengenai asal kata merarik, di antaranya; “berlari” yang berarti berlari.
Pihak lelaki nantinya akan membawa lari seorang perempuan untuk dinikahi.
Makna inilah yang kemudian berkembang menjadi istilah merarik yaitu sebuah tindakan yang dilakukan untuk membebaskan si gadis dari ikatan orang tua serta keluarganya.
Dalam pelaksanaan tradisi merarik, terdapat delapan tahap yang harus dilewati yaitu: 1) midang, merupakan proses kunjungan laki-laki ke rumah, 2) ”Merarik” (kawin lari), yaitu pelarian atau penculikan perempuan dari orang tuanya lalu disembunyikan oleh pelaku, 3) Selabar, yaitu pihak pria melaporkan kepada kepala dusun asal calon pengantin dan pemberitahuan kepada keluarga pihak perempuan bahwa pihak pria telah membawa lari anak mereka, 4) Mbait wali, yaitu menjemput wali untuk menikahkan si perempuan, 5) Akad nikah dengan cara Islam, 6) Mbait janji, yaitu perundingan untuk menentukan waktu pelaksanaan ajikrama atau sorong serah, yang merupakan puncak rangkaian upacara pernikahan, 7) Ajikrama merupakan prosesi simbolis untuk memberi dan menerima pengantin di dalam sebuah perkawinan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: