Mengenal 'Nyande', Gadai Ala Suku Besemah Saat Terdesak Kebutuhan
gunung dempo-pidi-pagaralampos.com
Kemudian lanjut dia, kesepakatan itu dituangkan surat perjanjian.
“Surat itu ditandatangani kedua belah (nyande dan nateng), saksi minimal dua orang, dan dibubuhi materai,”terangnya.
BACA JUGA:Sarekat Islam Tanah Besemah Kikis Agama Pengakuan, Ganti Dengan Syariat
Dengan demikian, sesudah surat tersebut diteken, maka sudah resmilah proses nyande dan nateng tersebut.
Nateng Saseh, Nateng Kuase, Nateng Terbang
PEMERHATI Budaya Besemah Asmadi menyebutkan, ada dua jenis nateng yakni nateng saseh dan nateng kuase. Nateng saseh, dijelaskannya, orang yang nyande (gadai) menyetorkan saseh (bunga) kepada yang nateng (penerima gadai).
“Nateng saseh biasanya berlaku bila, penggadai masih ingin mengelola objek yang digadaikannya,”ucap Mady Lani-pangilan akrab Asmadi- dihubungi Pagaralam Pos kemarin.
Lebih lanjut Mady mencontohkan, seorang yang menggadaikan sawah dengan luas 10 kubik. Kepada yang nateng sawah, penggadai menyatakan masih ingin mengelola sawah tersebut.
BACA JUGA:Penyebaran Ajaran Islam di Pagar Alam Lewat 'Tadut', Perintah Sholat Dalam Syair Asli Suku Besemah
Pendek kata, biarpun tergadai, pemiliknya masih ingin mengelola sawah itu. Yang nateng pun menyanggupi dengan syarat penggadai wajib membayar saseh dengan ketentuan waktu tertentu.
“Besaran saseh tergantung luas lahan tergadai. Kalau sawah 10 kubik, maka besar sasehnya sekira 100 Kg,”sebut Mady.
Lain halnya dengan nateng kuase. Orang yang nateng kata Mady, berkuasa penuh dengan objek yang digadaikan kepadanya.
Inilah sebabnya, orang yang nyande bebas dari kewajiban membayar saseh.
BACA JUGA:Ternyata Suku Besemah Sudah Memiliki Pengadilan Adat, Begini Isi Aturannya!
“Baik nateng kuase maupun nateng saseh, sama-sama sering dilakukan masyarakat,” tambahnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: