'Lampek Empat Merdike Due' Pengadilan Khas Suku Besemah di Sumatera Selatan, Begini Arti dan Isi Aturannya!
rumah asli pagaralam-pidi-pagaralampos.com
BACA JUGA:Inilah Deretan Keturunan Si Pahit Lidah! Ternyata Ini Silsilah Keluarganya Versi Suku Gumay
Satar melanjutkan, di masa itu, pengadilan adat dibagi menjadi empat tingkatan yakni rapat marga, rapat kecil, rapat besar dan rapat tinggi.
Bila sebuah persoalan tak tuntas di satu tingkatan, akan diteruskan ke tingkatan di atasnya. “Saya bertugas di rapat kecil Pagaralam,”ucapnya.
Untuk memutuskan suatu perkara, pengadilan mengacu hukum yang berlaku. Satar menyebutkan, di masa itu, hukum yang berlaku adalah yang dibuat Ratu Senuhun.
Hukum tertulis ini disebut dengan Undang-undang Simbur Cahye.
BACA JUGA:Simbol Kebesaran Alam, Burung Enggang dalam Budaya Suku Dayak di Kalimantan
“Undang-undang Simbur Cahye yang pertama, itu ditulis dengan surat ulu,”ucap Satar. “Di zaman Belanda, Simbur Cahye ditulis ulang dengan huruf latin,”tambahnya.
Sayang, Satar sudah lupa jumlah pasal yang ada dalam UU Simbur Cahye. Tapi, dia memastikan, UU ini menjangkau ke seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Dicontohkannya, ada satu aturan tentang larangan untuk masuk halaman orang sembarangan.
Larangan ini disebut dengan istilah ‘kumbang melilit kandang’. “Kalau terbukti melanggar, kena denda 200 ringgit,”sebut dia.
BACA JUGA:Ini 7 Ciri Khas Pakaian Adat Suku Kalimantan Indonesia!
Formal dan Non Formal
Gambaran pengadilan adat yang diceritakan Satar itu, disebut Ahmad Bastari Suan sebagai pengadilan formal.
Pengadilan formal, ujar pemerhati sejarah Besemah ini, cirinya-cirinya sudah dilembagakan dan memiliki landasan hukum tertulis.
“Mirip-mirip pengadilan di masa sekarang,”kata Satar, dihubungi Pagaralam Pos.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: