Adaptasi Novel Terkenal nan Indah, Epik, serta Penuh Ketegangan

BACA JUGA:Ini Daftar 10 Kebudayaan Palembang Meraih Sertifikat Kekayaan Intelektual Komunal

Di sisi lain, Gal Gadot masih saja tidak bisa berakting selain dengan aksennya yang khas itu.

Walaupun ia sesekali menggunakan Bahasa Prancis (dengan pelafalan yang cukup baik) yang mana mengurangi keanggunannya dalam berakting.

Apabila dibandingkan dengan film pertama yang plot-nya benar-benar sulit ditebak oleh penonton, Death on the Nile agak sedikit berbeda.

Bagi mereka yang jeli saat menonton dari awal hingga sebelum adegan reveal, pasti dapat menduga siapa dalang di balik kasus pembunuhan di film ini. 

BACA JUGA:Kembarasia, Silaturrahmi Dua Budaya

Alhasil mereka akan merasa kurang puas saat tebakannya terbukti benar sebelum the moment of truth. 

Terakhir, meskipun tema cerita film ini berada di Mesir, sayangnya film ini tidak benar-benar syuting di negara tersebut.

Entah karena faktor biaya atau mungkin karena iklimnya yang tergolong sangat panas tetap disayangkan landmark bersejarah yang ditunjukkan di film harus ditampilkan menggunakan CGI, walaupun kualitasnya terbilang sangat baik dan rapi.

Secara keseluruhan film ini tetap menjadi rekomendasi bagi penonton terutama yang sudah sangat merindukan genre murder-mystery kembali ke layar lebar.

BACA JUGA:Wujudkan Pagar Alam Sebagai Kota Wisata Berbasis Budaya dan Alam

Meskipun plot twist-nya tidak seberapa membuat penonton terkejut, atmosfir yang diciptakan film ini dari awal hingga akhir tetap dapat membuat penonton penasaran, dan tidak mau berdiri dari kursinya sedetikpun bahkan untuk ke kamar mandi.

Ditambah dengan visual CGI yang sangat bagus, bisa dibilang film ini cukup sukses untuk melanjutkan keberhasilan film pertama.

Sinopsis: Kisahnya bermula dari pasangan Linnet Ridgeway-Doyle (Gal Gadot) dan Simon Doyle (Armie Hammer) yang baru saja menikah.

Keduanya memutuskan untuk mengajak orang-orang terdekat dalam bulan madu di Mesir.

Sumber: