PAGARALAMPOS.COM - Rambu Solo merupakan salah satu tradisi adat paling dikenal dari suku Toraja di Sulawesi Selatan.
Upacara ini bukan sekadar prosesi pemakaman biasa, melainkan mencerminkan filosofi hidup orang Toraja yang memandang kematian sebagai perjalanan panjang menuju dunia roh.
Ritual ini menjadi penghormatan terakhir sekaligus menjaga keseimbangan spiritual dan sosial dalam komunitas.
Asal-Usul dan Filosofi
Rambu Solo berakar pada kepercayaan lama yang dikenal sebagai Aluk To Dolo, yaitu aturan leluhur sebelum masuknya agama besar di Toraja.
BACA JUGA:Pemberontakan yang Hampir Menghapus Sejarah Indonesia
BACA JUGA:Benarkah Sejarah Itu Penuh Rekayasa Para Pemenang?
Dalam pandangan ini, kematian bukan akhir, tetapi jiwa beranjak menuju Puya, alam roh.
Namun, untuk sampai ke Puya, jiwa harus melewati serangkaian upacara khusus. Istilah “Rambu Solo” sendiri berarti “asap turun”, menggambarkan asap yang muncul dari pembakaran persembahan dan hewan kurban yang diyakini mengantar roh ke alam baka.
Sebaliknya, upacara syukuran kehidupan disebut “Rambu Tuka” atau “asap naik”.
Proses Pelaksanaan
Rambu Solo biasanya dilakukan beberapa waktu setelah kematian, bisa berbulan atau bahkan bertahun-tahun, karena prosesnya membutuhkan persiapan dan biaya besar.
BACA JUGA:Mengungkap Kisah Mistis dan Spiritualitas Gunung Pakuwojo: Warisan Sejarah dari Tanah Jawa
BACA JUGA:Gunung Sumantri: Jejak Sejarah dan Kisah Kepahlawanan di Atap Papua
Jenazah selama masa tunggu disimpan di rumah adat tongkonan dan dianggap sedang dalam keadaan “sakit” atau “tidur”.