BACA JUGA:Sejarah Rumah Adat Langkanae Luwu: Simbol Keagungan Budaya Bugis di Tanah Luwu!
Atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi seperti HBS (Hogere Burger School) atau AMS (Algemene Middelbare School).
MULO tidak hanya berfungsi sebagai tempat belajar ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadi sarana pembentukan karakter, disiplin, dan etos kerja dalam gaya Eropa.
Pelajaran yang diajarkan meliputi bahasa Belanda, matematika, ilmu pengetahuan alam, sejarah, geografi, serta pendidikan moral.
Seleksi dan Akses yang Ketat
Meskipun terlihat sebagai bentuk kemajuan, akses terhadap MULO tetap dibatasi.
BACA JUGA:Menelusuri Sejarah Tugu Monjali: Monumen Perjuangan Rakyat Yogyakarta!
Sekolah ini hanya bisa diakses oleh anak-anak dari kalangan tertentu yang dianggap “berhak”—baik karena status sosial maupun karena penguasaan bahasa Belanda
. Ini membuat MULO menjadi lembaga eksklusif yang tidak dapat dinikmati oleh masyarakat luas.
Namun demikian, sejumlah tokoh nasional yang kelak berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia merupakan lulusan MULO.
Di antaranya adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Ki Hajar Dewantara yang dikenal sebagai pelopor pendidikan nasional.
Mereka memanfaatkan kesempatan belajar di MULO sebagai batu loncatan untuk memperluas wawasan dan memperjuangkan kemerdekaan.
BACA JUGA:Sejarah Panjang Pantai Losari: Dari Pelabuhan Niaga Masa Kolonial hingga Menjadi Ikon Wisata Modern!
Peran MULO dalam Pergerakan Nasional
MULO secara tidak langsung membuka ruang bagi munculnya kesadaran nasional di kalangan pelajar. Lulusan MULO mulai berpikir kritis terhadap ketimpangan sosial dan politik di bawah penjajahan.
Dari sekolah-sekolah semacam inilah lahir para pemuda yang aktif dalam organisasi seperti Boedi Oetomo, Indische Partij, hingga Perhimpunan Indonesia di Belanda.