Sayang, Satar sudah lupa jumlah pasal yang ada dalam UU Simbur Cahye. Tapi, dia memastikan, UU ini menjangkau ke seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Dicontohkannya, ada satu aturan tentang larangan untuk masuk halaman orang sembarangan.
Larangan ini disebut dengan istilah ‘kumbang melilit kandang’. “Kalau terbukti melanggar, kena denda 200 ringgit,”sebut dia.
BACA JUGA:Ini 7 Ciri Khas Pakaian Adat Suku Kalimantan Indonesia!
Formal dan Non Formal
Gambaran pengadilan adat yang diceritakan Satar itu, disebut Ahmad Bastari Suan sebagai pengadilan formal.
Pengadilan formal, ujar pemerhati sejarah Besemah ini, cirinya-cirinya sudah dilembagakan dan memiliki landasan hukum tertulis.
“Mirip-mirip pengadilan di masa sekarang,”kata Satar, dihubungi Pagaralam Pos.
Jauh sebelumnya, kata Bastari, masyarakat Besemah sudah mengenal yang namanya pengadilan non formal.
BACA JUGA:Kebiasaan Suku Fore di Papua Nugini Ini Bikin Bergidik! Salahsatunya Makan Daging Manusia!
Disebut demikian jelas dia, karena pengadilan jenis ini belum dilembagakan dan tidak memiliki landasan hukum tertulis.
Pengadilan non formal ini dimulai dari kumpul dusun laman, rapat sumbai, dan lampek empat merdike duwe.
Bastari menjelaskan, kumpul dusun laman merupakan pengadilan untuk menyelesaikan sebuah perkara di sebuah dusun seperti berkelahi, berebut sumber mata air.
Di dalam forum inilah jungku, dan yang berselisih dipanggil. “Kumpul dusun laman dapat dilakukan dengan catatan kalau jeme ribut itu satu dusun,”ucap penulis buku tentang sejarah Besemah ini.
Adapun rapat sumbai merupakan pengadilan non formal bagi yang berselisih berasal dari lain dusun tapi masih dalam satu sumbai.