Suami: Lukmane pule pak hakim, ame biduk nak masuk muare penuh li gumpai....
Tanya jawab itu terus itu terjadi. Dan Satar-juga orang yang mengikuti sidang-mulai terlihat senyum-senyum.
Yang tak tahan menawan tawa, termasuk Satar, mohon pamit ke luar ruangan sidang.
Di masa itu, Pengadilan Adat memang sudah hadir untuk menyelesaikan pelbagai persoalan masyarakat Besemah.
BACA JUGA:Selebritis Lewat, Begini Kecantikan Alami 7 Wanita Suku di Nusantara
Dan sengkarut rumah tangga diakui Satar memang acap masuk dalam persidangan.
Konsep pengadilan adat ini sendiri mirip dengan pengadilan modern. Menurut Satar, Pengadilan Adat ini dipimpin satu orang hakim ketua dan dua orang hakim anggota.
“Hakim jumlahnya harus ganjil,”ucapnya. Di dalam pengadilan adat juga ada yang namanya pemimpin rapat dan penulis perkara. Satar masuk dalam bagian pembantu penulis perkara ini.
Juga ada petugas yang disebut dengan pendamping perkara semacam pengacara di zaman sekarang.
BACA JUGA:Inilah Deretan Keturunan Si Pahit Lidah! Ternyata Ini Silsilah Keluarganya Versi Suku Gumay
Satar melanjutkan, di masa itu, pengadilan adat dibagi menjadi empat tingkatan yakni rapat marga, rapat kecil, rapat besar dan rapat tinggi.
Bila sebuah persoalan tak tuntas di satu tingkatan, akan diteruskan ke tingkatan di atasnya. “Saya bertugas di rapat kecil Pagaralam,”ucapnya.
Untuk memutuskan suatu perkara, pengadilan mengacu hukum yang berlaku. Satar menyebutkan, di masa itu, hukum yang berlaku adalah yang dibuat Ratu Senuhun.
Hukum tertulis ini disebut dengan Undang-undang Simbur Cahye.
BACA JUGA:Simbol Kebesaran Alam, Burung Enggang dalam Budaya Suku Dayak di Kalimantan
“Undang-undang Simbur Cahye yang pertama, itu ditulis dengan surat ulu,”ucap Satar. “Di zaman Belanda, Simbur Cahye ditulis ulang dengan huruf latin,”tambahnya.