Kita tidak memiliki data mengenai apa yang tepatnya diajarkan di kadewaguruan.
Menurut arkeolog Hariani Santiko, kemungkinan besar para murid di kadewaguruan mendalami agama secara bertahap.
Di level dasar, para murid mempelajari tata susila, yakni sikap hidup yang baik, dan tata upacara, yakni penyucian jasmani dan rohani.
BACA JUGA:Situs Megalit di Ketinggian 1.100 MDPL Ditemukan, Faktanya Hampir Mirip dengan Situs Gunung Padang
Di tahap berikutnya, mereka mempelajari filsafat dan ilmu keagamaan dalam ajaran inti, yakni konsep Realitas tertinggi, yang ada dalam Kitab Tutur.
Kitab Tutur adalah buku-buku keagamaan yang disusun sejak masa Mpu Sindok di abad ke-10 dan bersifat Siwa.
Ajaran-ajaran pokoknya adalah tentang Realitas Tertinggi yang bersifat kehampaan atau Sunya, hakikat / tattwa Siwa, padanan Siwa dan Buddha, dan juga penyatuan dengan dewa tertinggi atau Paramasiwa.
Kesemuanya itu dicapai dengan jalan yoga dan ajaran kitab-kitab Tutur ini bersifat rahasia.
BACA JUGA:Tak Hanya Kental Akan Budaya, Ternyata Jogja Miliki Destinasi Wisata yang Angker!
Maka tidak mengherankan bila kadewaguruan dibangun di tempat-tempat terpencil seperti di lereng gunung, bukit, hutan, pinggir laut, ataupun sungai.
Sebagai contoh Gunung Penganggungan, yang di lerengnya banyak didirikan karesyan dan kadewaguruan.
Gunung Penanggungan atau Pawitra adalah makrokosmos bagi masyarakat Jawa pada saat itu.
Gunung ini diyakini sebagai tempat dewa-dewa bertakhta, karena merupakan puncak Mahameru yang dipindah dari India ke Jawa, sebagaimana diceritakan dalam Kitab Tantu Pagelaran,
BACA JUGA:Peneliti di Gunung Padang Gegerkan Dunia Arkeolog dengan Temuan 3 Ton Logam Mulia Didalamnya
di zaman Majapahit, wilayah Pawitra termasuk Dharma lpas, sehingga kadewaguruan-kadewaguruan di sana pun diawasi istana.
Namun di masa kemunduran Majapahit, pengawasan pun surut sehingga muncullah kadewaguruan-kadewaguruan yang lebih bebas mengangkat kembali kepercayaan asli nusantara.