Selanjutnya, sarana ketiga adalah melalui lembaga pendidikan.
Arkeolog Agus Aris Munandar membagi lembaga pendidikan zaman Jawa Klasik menjadi dua, yakni di lingkungan istana dan di luar lingkungan istana.
Pertama, lembaga pendidikan di lingkungan istana diperuntukkan bagi anak-anak raja dan para bangsawan, tujuannya jelas, yakni menyiapkan peserta didik untuk peran-peran kenegaraan.
Anak raja dididik bersama anak-anak bangsawan sehingga mereka menjadi sahabat yang dapat dipercaya.
BACA JUGA:Kerajaan Sriwijaya, Benarkah Perpaduan Magis Budaya India dan Bukti Kejayaan Maritim?
Sebagai contoh Dyah Wijaya (1293-1309 M), sang pendiri Majapahit.
Pasca kejatuhan Singasari, dalam pelariannya Dyah Wijaya didampingi segelintir perwira yang setia, ada kemungkinan sejak kecil mereka dididik bersama-sama di lingkungan istana.
Hal serupa ini juga dapat kita jumpai pada kisah Alexander Agung (356-323 SM), Raja Makedonia yang dikelilingi jenderal-jenderal yang setia.
Karena sejak muda mereka dididik bersama-sama di “kadewaguruan” Aristoteles.
BACA JUGA:Malam Pertama Paling Aneh di Indonesia, Ini Suku Yang Melaksanakannya!
Kedua, lembaga pendidikan di luar istana yang dapat diikuti oleh rakyat, biasanya disebut kadewaguruan, mandala, atau karesyian.
Ada dua jenis kadewaguruan.
Yang pertama dibangun di wilayah Dharma lpas, yakni tanah yang dihibahkan raja untuk para agamawan, sehingga lembaga ini berada di bawah pengawasan istana.
Dan yang kedua adalah kadewaguruan “liar”, yang berdiri independen dan tidak diawasi oleh istana.
Karena berakar pada arus bawah dan peserta didiknya adalah rakyat, kadewaguruan tidak berorientasi pada pendidikan duniawi, tetapi untuk pendidikan agama.