Tak heran bila setelah keruntuhan Majapahit pun, sisa-sisa wilayahnya di Jawa Timur masih mampu memberi perlawanan saat dianeksasi Demak mulai tahun 1528 hingga 1543 M.
BACA JUGA:Gak Wajar! Inilah Tradisi Unboxing Pasangan Suku di Indonesia yang Bikin Gagal Paham
Hingga pada tahun 1543 M, Gunung Penanggungan, sang kiblat kadewaguruan, berhasil diduduki pasukan Demak.
Para cerdik pandainya pun mengungsi ke Blambangan dan Bali, sehingga kontras dengan situasi di Jawa pada masa itu, Bali memasuki masa keemasan dalam seni dan budaya.
Namun, apakah semua hal itu lantas mengakhiri kiprah kadewaguruan di tanah Jawa?
Tidak! Satu kekuatan indah yang saya kagumi di nusantara ini, adalah akulturasi.
BACA JUGA:Siapa Ranavalona I, Ratu Madagascar Paling Edan dan Kejam-Kah?
Dengan beralihnya masyarakat Jawa pada keyakinan baru, menurut arkeolog Agus Aris Munandar, konsep kadewaguruan sebagai tempat pendidikan agama kemudian berkembang menjadi pesantren.
Sejarawan C.C. Berg juga berpendapat bahwa istilah santri berasal dari kata sanskerta Shastri, artinya orang yang mempelajari kitab suci.
Jika benar pendapat demikian, maka sebenarnya kadewaguruan tidak serta-merta lenyap, tetapi hanya berubah bentuk.
Ada dua hal yang perlu kita perhatikan di sini:
BACA JUGA:Messi Siap Pecahkan Rekor di MLS, Jika?
Pertama, bangkit dan hancurnya sebuah peradaban berada di tangan para pendidik.
Ketika kerajaan Medang dihancurkan musuh, kadewaguruan menyelamatkan pewaris kerajaan ini, yakni Airlangga.
Dan selanjutnya, penobatan Airlangga menjadi titik anjak bagi berbagai kemaharajaan di Jawa Timur.
Kedua, peradaban Jawa klasik yang kita kagumi sekarang, tidaklah terbangun dalam semalam, seperti mitos jin yang membangun Prambanan, Tetapi melalui proses pendidikan di kadewaguruan.