Dari Ritual Hingga Panggung Nasional: Jejak Sejarah dan Pelestarian Tari Gandrung di Indonesia

PAGARALAMPOS.COM - Tari Gandrung merupakan salah satu kesenian tradisional khas dari Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, yang telah menjadi ikon kebudayaan masyarakat Osing—suku asli yang mendiami wilayah tersebut.

Kehadiran tarian ini tidak hanya memperkaya ekspresi seni daerah, tetapi juga mencerminkan jati diri dan kebanggaan masyarakat lokal.

Sejak tahun 2000, Tari Gandrung diresmikan sebagai lambang pariwisata Banyuwangi. Simbol penari Gandrung kini mudah ditemukan dalam bentuk patung dan ornamen yang menghiasi ruang-ruang publik, baik di kota maupun desa.

Asal-usul dan Transformasi Tari Gandrung

Kisah Tari Gandrung bermula dari era Kerajaan Blambangan, kerajaan Hindu-Buddha terakhir di Pulau Jawa yang berada di wilayah Banyuwangi sekarang.

Seiring berjalannya waktu, terutama di masa penjajahan Belanda, bentuk dan penyajian tari ini mengalami perubahan signifikan.

BACA JUGA:Sejarah Suku Moronene: Warisan Leluhur yang Bertahan di Tengah Arus Modernisasi!

BACA JUGA:Kerak Telor. Makanan Betawi Paling Terkenal Kesukaan Bangsawan Belanda? Ini Sejarahnya!

Tadinya ditarikan oleh laki-laki, peran ini kemudian beralih ke perempuan sejak wafatnya penari laki-laki terakhir, Marsan, pada tahun 1914. Sejak saat itu, penari perempuan menjadi wajah utama dari pertunjukan Gandrung.

Makna Filosofis dan Fungsi Sosial

Secara harfiah, "Gandrung" berarti jatuh cinta atau terpesona. Dalam konteks budaya, tarian ini menjadi bentuk rasa syukur masyarakat kepada Dewi Sri, dewi yang dipercaya memberi kelimpahan hasil pertanian.

Lebih dari sekadar persembahan spiritual, Tari Gandrung juga memiliki fungsi hiburan sosial.

Ia kerap tampil dalam perayaan adat, pesta pernikahan, hingga kegiatan budaya berskala besar.

Busana dan Properti Khas

Sumber: