Pemkot PGA

Tragedi Giyanti 1755: Konflik Politik yang Mengoyak Persaudaraan di Mataram

Tragedi Giyanti 1755: Konflik Politik yang Mengoyak Persaudaraan di Mataram

Giyanti 1755: Tragedi Persaudaraan dalam Bayang-Bayang Politik Mataram-Foto: net -

PAGARALAMPOS.COM - Pada tanggal 13 Februari 1755, sebuah perjanjian bersejarah yang dikenal sebagai perjanjian Giyanti mengakhiri perang saudara yang melanda kerajaan Mataram.

Kejadian tersebut terjadi di sebuah desa kecil di Karanganyar, Jawa Tengah, yang sekarang menjadi titik penting dalam sejarah politik Mataram.

Peristiwa ini dimulai setelah wafatnya Raja Amangkurat IV, yang meninggalkan takhta yang akhirnya memicu persaingan sengit antara dua tokoh utama: Pakubuwono III yang didukung oleh VOC Belanda, dan Pangeran Mangkubumi, adik raja yang merasa terpinggirkan.

Mangkubumi yang berasal dari kalangan bangsawan keraton merasa kecewa dengan pengaruh Belanda yang semakin kuat, serta pengambilalihan hak tanah yang dimilikinya. Keadaan ini memicu pemberontakan yang memecah belah keluarga dan kerajaan.

BACA JUGA:Kaya akan Keragaman Sejarah! Inilah 3 Bangunan Bersejarah di Indonesia yang Wajib Kamu Ketahui!

BACA JUGA:Viral! Mari Nikmati Keindahan Alam dan Sejarah Lembah Harau di Sumatera Barat,

Perang saudara yang berlangsung selama delapan tahun tersebut menyisakan penderitaan dan merusak tatanan sosial serta budaya di kalangan rakyat.

VOC, yang pada awalnya terlibat sebagai pihak yang mempengaruhi jalannya politik kerajaan, akhirnya memilih untuk mencari solusi damai setelah melihat kerugian yang semakin besar.

Perjanjian Giyanti pun disepakati, yang memecah kerajaan Mataram menjadi dua wilayah: Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwono III dan Kesultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Mangkubumi.

Perjanjian ini mengakhiri konflik namun meninggalkan luka mendalam dalam sejarah.

BACA JUGA:Peperangan Terpanjang dalam Sejarah Dunia: Ada yang Bertahan Hingga 8 Abad?

BACA JUGA:Mengungkap Misteri dan Sejarah Tara Emas: Artefak Berharga dari Filipina

Meskipun demikian, dari perpecahan tersebut, dua pusat kebudayaan besar muncul, yaitu Surakarta yang terkenal dengan seni dan tari klasiknya, serta Yogyakarta yang berkembang menjadi pusat budaya, sastra, dan spiritualitas Jawa.

Perjanjian Giyanti lebih dari sekadar sebuah kesepakatan politik. Ini adalah pengingat bahwa persatuan bangsa sangat rentan terhadap perpecahan internal yang bisa dimanfaatkan oleh kekuatan luar.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait