Pemkot PGA

Sejarah Raja Mataram Kuno Tinggalkan 45 Prasasti Selama Masa Pemerintahannya!

Sejarah Raja Mataram Kuno Tinggalkan 45 Prasasti Selama Masa Pemerintahannya!

Dyah Balitung, Raja Mataram Kuno yang Meninggalkan Banyak Prasasti-net-

PAGARALAMPOS.COM - Dyah Balitung merupakan salah satu raja yang pernah memerintah Kerajaan Mataram Kuno dari tahun 899 hingga 911. Selama pemerintahannya, ia dikenal dengan gelar Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Iswarakesawasamarattungga.

Asal-usul Dyah Balitung berasal dari Watukura, yang kini dikenal sebagai Bagelen di Kecamatan Purwodadi, Purworejo, Jawa Tengah. Ia tercatat sebagai salah satu dari 13 raja paling berpengaruh dalam sejarah Kerajaan di Tanah Jawa, berkat pencapaiannya dalam mengeluarkan lebih dari 45 prasasti sepanjang masa pemerintahannya.

Prasasti pertama yang dikeluarkan Dyah Balitung tercatat pada 11 September 899, dikenal dengan nama Prasasti Telahap. Sayangnya, saat ini hanya sebagian dari prasasti tersebut yang masih terbaca.
 

“Prasasti ini tampaknya mencatat hibah sīma yang diberikan oleh Balitung,” demikian tulis Novida Abbas dalam bukunya yang berjudul *Liangan: Mozaik Peradaban Mataram Kuno di Lereng Sindoro*.

Pada tahun 900 M, Balitung mengeluarkan Prasasti Ayam Teas III, yang menjadikan Desa Ayam Teas sebagai pusat perdagangan. Di tahun yang sama, ia juga mengeluarkan Prasasti Taji pada tahun 901, yang mengesahkan wilayah Taji sebagai daerah perdikan untuk pembangunan suci “kuil Dewasabhā”.

Prasasti Luitan yang juga diterbitkan pada tahun yang sama mencatat tentang masalah pajak. Kemudian, pada tahun 902, muncul Prasasti Watukara yang menyebutkan jabatan Rakryan Kanuruhan, yang setara dengan perdana menteri.
 
BACA JUGA:Sungai Kapuas: Jejak Sejarah, Peradaban, dan Kehidupan di Jantung Kalimantan Barat!

Dyah Balitung sangat peduli terhadap kondisi masyarakat, terbukti dari Prasasti Telang yang dikeluarkannya pada tahun 904. Prasasti ini berisi mengenai pembangunan kompleks penyeberangan di tepi Bengawan Solo.

“Balitung membebaskan pajak bagi desa-desa sekitar Paparahuan dan melarang penduduknya memungut biaya dari para penyeberang,” terangnya.

Terdapat juga Prasasti Rumwiga yang diterbitkan pada tahun 904, yang memuat permohonan pengurangan pajak dari desa Rumwiga. Permohonan ini dikabulkan oleh sang raja.

Masyarakat Rumwiga kemudian mengadukan adanya penyelewengan pajak kepada Mpu Daksa, yang menjabat sebagai Mahamantri I Hino atau calon raja. Kisah ini tercatat dalam Prasasti Rumwiga II yang dicetak pada tahun 905 M.
 

Selain itu, Dyah Balitung juga mengeluarkan Prasasti Poh pada tahun 905 yang berisi pembebasan pajak untuk Desa Poh. Aksi ini diambil sebagai bentuk dukungan kepada masyarakat yang mengelola bangunan suci Sang Hyang Caitya dan Silunglung, peninggalan raja sebelumnya, Rakai Pikatan, yang dimakamkan di Pastika.

Dalam tahun yang sama, ia juga mengeluarkan Prasasti Kubu-Kubu, yang memberikan anugerah desa Kubu-Kubu kepada Rakryan Hujung Dyah Mangarak dan Rakryan Matuha Dyah Majawuntan, sebagai penghargaan atas jasa keduanya dalam memimpin penaklukan daerah Bantan atau Bali.

Terdapat pula Prasasti Mantyasih dan Prasasti Kinewu, keduanya dikeluarkan pada tahun 907, yang memberikan penghargaan kepada beberapa tokoh berjasa lainnya, serta Prasasti Rukam yang tercatat memberikan anugerah kepada Rakryan Sanjiwana atas pemeliharaan bangunan suci di Limwung.
 
BACA JUGA:Menelusuri Sejarah Taman Nasional Lore Lindu: Warisan Alam dan Budaya Sulawesi Tengah!

Prasasti Bangle yang dikeluarkan pada tahun 908 sebagian tidak dapat terbaca. Sementara itu, Prasasti Kaladi yang dicetak pada tahun 909 mencatat tindakan Dyah Balitung dalam menertibkan para perampok di daerah Gunung Penanggungan, Jawa Timur.

Prasasti terakhir yang dikeluarkan oleh Dyah Balitung adalah Prasasti Tulungan pada tahun 910. Prasasti ini ditemukan di Jedung, Mojokerto, Jawa Timur, saat Dyah Balitung telah menyandang gelar Śrī Mahārāja Rakai Galuḥ Dyaḥ Garuda Mukha Śri Dharmmodaya Mahāsambu.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait