Kesultanan Tidore: Dari Perdagangan Rempah hingga Perlawanan Terhadap Kolonial

Kesultanan Tidore: Dari Perdagangan Rempah hingga Perlawanan Terhadap Kolonial

Kesultanan Tidore--

Rempah-rempah seperti cengkeh, pala, dan lada yang dihasilkan dari wilayah Maluku menjadi komoditas utama yang diperdagangkan.

Sumber daya rempah yang melimpah membuat Tidore menjadi target kekuatan kolonial Eropa.

Portugis dan Spanyol terlibat dalam berbagai upaya untuk menguasai perdagangan rempah di kawasan ini, yang akhirnya membawa mereka bersaing dengan Tidore dan Ternate.

BACA JUGA:Menyelami Sejarah Kesultanan Sambas: Dari Pusat Perdagangan hingga Identitas Budaya

Akhir Kejayaan dan Masa Kolonial

Pada abad ke-19, pengaruh Belanda semakin kuat di kawasan Maluku, termasuk di Tidore.

Belanda berhasil mengalahkan Spanyol dan Portugis dalam perebutan wilayah ini dan akhirnya menguasai perdagangan rempah-rempah.

Pada tahun 1907, Kesultanan Tidore secara resmi menjadi bagian dari Hindia Belanda setelah Belanda berhasil menundukkan perlawanan lokal.

Meskipun Kesultanan Tidore kehilangan kedaulatannya, pengaruh budaya dan sejarahnya tetap bertahan hingga saat ini.

BACA JUGA:Menyusuri Sejarah Kesultanan Paser: Dari Kerajaan Lokal Menuju Pengaruh Kolonial

Sultan-sultan Tidore tetap dihormati sebagai pemimpin simbolis dan kebudayaan Tidore terus berkembang sebagai bagian dari kekayaan warisan budaya Indonesia.

Warisan Kesultanan Tidore

Hingga saat ini, Kesultanan Tidore masih dihormati sebagai salah satu kerajaan besar di Indonesia.

Tradisi dan kebudayaan Tidore yang kaya masih hidup dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Maluku, termasuk upacara adat, bahasa, dan seni.

Kesultanan ini juga sering diperingati dalam berbagai acara sejarah dan budaya, mengingat peran pentingnya dalam perjuangan melawan kolonialisme dan dalam membangun identitas Islam di Indonesia bagian timur.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: