Pertahankan Keturunan Darah Daging Sendiri Dalam Suku Polahi Boleh 'Digasak', Netijen Kok Gitu Sih?

Pertahankan Keturunan Darah Daging Sendiri Dalam Suku Polahi Boleh 'Digasak', Netijen Kok Gitu Sih?

Pertahankan Keturunan Darah Daging Sendiri Dalam Suku Polahi Boleh 'Digasak', Netijen Kok Gitu Sih?--Net

Istilah “Polahi” dalam bahasa Gorontalo berasal dari kata “Lahi-lahi” yang artinya melarikan diri atau melarikan diri.

BACA JUGA:Meski Jadi Primadona, Namun Berbagai Keajaiban Dari Gunung Ini Bikin Takjub Wisatawan! 

Menurut catatan sejarah yang ada, suku Polahi sebenarnya adalah warga Gorontalo yang melarikan diri ke hutan karena pemimpin mereka di masa penjajahan Belanda tidak mau ditindas oleh penjajah.

Oleh karena itu, orang Gorontalo menyebut mereka Polahi, yang secara harfiah berarti "pelarian".

Keadaan tersebut mempengaruhi kondisi suku Polahi dengan kehidupan di dalam hutan.

BACA JUGA:Peneliti Cina Temukan Metode Baru Untuk Melacak Keberadaan Kapal Selam AS

Meskipun Indonesia telah merdeka, sebagian keturunan Polahi masih memilih tinggal di hutan.

Sikap anti penjajah tersebut turun-temurun dan menyebabkan orang Polahi menganggap orang dari luar suku mereka sebagai penindas dan penjajah.

Namun, yang membuat suku Polahi semakin unik adalah keberlangsungan tradisi perkawinan sedarah dalam budaya mereka.

Berbeda dengan sistem perkawinan umum di mana dua individu dari keluarga yang berbeda menikah tanpa ikatan darah, suku Polahi memiliki budaya sistem kawin sedarah atau sistem perkawinan inses.

BACA JUGA:Jarang Diketahui! Inilah Kisah Misteri Gunung Slamet yang Menyimpan Penuh Misteri

Perkawinan sedarah di suku Polahi memungkinkan anggota keluarga untuk menikah dengan sesama anggota keluarga yang memiliki ikatan darah.

Seperti antara ibu dan anak laki-laki, bapak dan anak perempuan, atau saudara laki-laki dan saudara perempuan.

Sistem ini telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda dan masih dipraktikkan hingga saat ini, meskipun dianggap tidak biasa atau bahkan aneh oleh budaya umum.

Pernikahan sedarah ini sebenarnya bukan berdasarkan kebiasaan adat, tetapi lebih karena kurangnya pemahaman dan pengetahuan mereka tentang pergaulan di luar kelompok mereka sendiri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: