Wajib Diketahui! Inilah Kode Bahaya Masa Perang Kemerdekaan, Salah Satunya Azan Yang Tak Lazim
perang kemerdekaan--internet
Salah satu tokoh yang mengabadikan pengalaman tersebut adalah Hendri Johari, seorang lelaki berusia 92 tahun, yang mengingat kembali peristiwa penting pada masa itu.
dilansir dari historia.id, beliau mengisahkan tentang kode bahaya dan isyarat yang digunakan oleh rakyat dalam melindungi gerilyawan.
Pada tahun 1947 di Sukanagara, Cianjur Selatan, suatu peristiwa menarik terjadi.
Saat seorang pria bernama Somal sedang melantunkan adzan Ashar, ia tiba-tiba melihat gerakan beberapa serdadu Belanda di jalanan kampung.
Meskipun terkejut dan gugup, Somal berhasil menahan diri untuk tidak teriak.
Namun, lantunan adzan yang tidak lazim tersebut segera diketahui oleh para gerilyawan dan penduduk kampung.
Dengan cepat, mereka menghindar dari kawasan tersebut dengan berbagai cara, termasuk masuk ke hutan atau pura-pura mengerjakan sesuatu.
Beberapa warga yang tidak punya waktu untuk menyelamatkan diri pun berusaha bertahan.
Kode bahaya semacam ini menjadi umum di kampung-kampung pada masa perang kemerdekaan.
Tujuannya adalah untuk memberikan tanda bahaya atau informasi tentang kedatangan tentara Belanda kepada gerilyawan .
Salah satu metode yang umum digunakan adalah dengan bunyi kentongan yang disebarkan secara estafet dari kampung ke kampung.
Namun, metode ini dianggap terlalu berisik dan mudah teridentifikasi oleh musuh.
Bunyi kentongan seringkali malah mengundang tentara Belanda ke kampung yang sebenarnya berpihak kepada gerilyawan, yang akhirnya bisa berujung pada pembakaran kampung tersebut.
Dalam rangka memelihara kesenyapan dan menghindari pendeteksian oleh musuh, para pejuang di kaki Gunung Sumbing menciptakan sistem kode bahaya yang lebih canggih, yaitu "sistem geplak".
Sistem ini adalah kode bahaya tradisional yang tidak mengeluarkan suara berisik seperti kentongan.
Sistem geplak terdiri dari sebuah tiang bambu dengan tinggi sekitar delapan hingga sepuluh meter.
Tiang tersebut dilengkapi dengan sebuah bendera yang terbuat dari anyaman bambu, berukuran sekitar satu kali satu meter, bendera ini menyerupai pemukul dalam ukuran yang lebih besar.
Setiap kali terjadi bahaya atau tentara Belanda mendekat, geplak didirikan tegak lurus di atas sebuah bukit yang menjadi pembatas desa.
Jika ada patroli tentara Belanda yang datang, tiang tersebut langsung dijatuhkan.
Begitu pula jika seorang pengawas atau warga melihat geplak di desa tetangga sudah dijatuhkan.
Sistem geplak ini pernah membuat para serdadu Belanda kebingungan.
Mereka kadang kesulitan menemukan sumber suara bahaya tersebut dan terkadang terjebak dalam perangkap yang diatur oleh gerilyawan Republik.
Salah satu contoh keberhasilan sistem geplak terjadi dalam pertempuran di Banaran, Wonosobo.
Sebuah kesatuan besar pasukan Belanda, juga dikenal sebagai pasukan KL (Korps Leger), menyerbu desa Banaran yang diduga berpihak kepada TNI.
Dengan sistem geplak, pasukan TNI mampu mengatur pertahanan mereka dengan baik, mengambil posisi yang lebih tinggi di bukit-bukit sekitar pertigaan Banaran.
Ketika pasukan Belanda tiba di lokasi, mereka langsung menjadi target serangan tiba-tiba dari para gerilyawan Republik yang bersembunyi di posisi yang lebih tinggi.
Dalam waktu singkat, pertahanan pasukan Belanda runtuh dan mereka terpaksa mundur dengan banyak korban tewas dan luka-luka.
Perang kemerdekaan memang menghadirkan berbagai kisah menarik dan penuh pengorbanan.
Kode bahaya dan isyarat yang diciptakan oleh rakyat Indonesia saat itu merupakan bukti kecerdikan dan semangat juang dalam melindungi kemerdekaan.
Meskipun metode-metode tersebut mungkin terlihat sederhana, mereka berhasil mengelabui tentara Belanda dan memberikan keuntungan taktis bagi gerilyawan Republik.
Keberanian dan kecerdikan rakyat Indonesia dalam menghadapi musuh sangatlah menginspirasi dan patut dihargai dalam sejarah perjuangan kemerdekaan.*
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: