Suku Palembang, Raden Fatah Istrinya Berdarah Cina
Suku Palembang, Raden Fatah Istrinya “Berdarah Cina”--
PAGARALAMPOS.COM - Suku Palembang adalah salah satu suku Melayu yang terletak di wilayah Kota Palembang dan sekitarnya.
Suku Palembang juga merupakan salah satu kelompok etnis terdekat dari Suku Komering.
Suku Palembang di Palembang semakin lama semakin berkurang, tetapi di Tepian Sungai Musi masih banyak ditemukan suku Palembang.
Suku Palembang bahasanya mirip dengan Bahasa Melayu Jambi dengan Suku Melayu Bengkulu yang kata-katanya berakhiran dengan kata “o”.
BACA JUGA:Jalin Kerja Sama dengan Atourin Pasarkan Paket Desa Wisata
Suku Palembang tidak hanya mendiami wilayah Kota Palembang, tetapi juga mendiami wilayah Kabupaten Ogan Ilir (Seperti Kecamatan Tanjung Raja, Kecamatan Pemulutan, dan Kecamatan Indralaya).
Dan wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir (Seperti Kecamatan Kota Kayu Agung, dan Kecamatan Jejawi).
Kebanyakan keturunan suku Palembang ini juga banyak menyebar di wilayah Bengkulu, dan Jambi. Suku Melayu Palembang banyak menganut Agama Islam, sisanya beragama Buddha. Tetapi masih ada juga beragama animisme, mereka juga hidup secara berdampingan dan damai.
Perkembangan Suku Palembang
Masyarakat Palembang ada yang menyebutnya Melayu-Palembang untuk membedakannya dengan Melayu Riau, atau Deli.
BACA JUGA:KEREN! Suku Ini Disebut Jadi Keturunan Majapahit
Dalam Melayu Palembang ada jejak budaya Arab, Cina, Minang, dan Jawa yang kental. Jejak budaya itu muncul dalam aspek bahasa, kuliner, busana, arsitektur, kesenian, tradisi, nilai, dan pranata sosial khas ala Palembang. Budaya ini pun menyebar ke seantero Sumatra Selatan, sebagian Lampung dan Jambi.
Palembang kembali tumbuh menjadi pusat budaya ketika kerajaan baru yang independen muncul di abad 16. Kerajaan ini didirikan oleh bangsawan Kesultanan Demak yang notabene adalah anak-cucu Sultan Fatah yang berasal dari Palembang.
Sejarah mencatat, Raden Fatah adalah putra Brawijaya III dari Majapahit dari istrinya yang berdarah Cina, yang diasuh dan dibesarkan oleh Arya Damar, Adipati Palembang.
Hijrah dari Demak (Jawa Tegah) ke Palembang terjadi menyusul adanya konflik berkepanjangan pada keluarga kerajaan.
BACA JUGA:Wajib Diketahui! Ini 9 SMA Terbaik di Lahat
Di bawah pimpinan Ki Gede Suro, rombongan trah Demak itu mendarat di Palembang sekitar 1560-an. Dengan membawa atribut sebagai cucu-cicit Raden Fatah serta Ario Damar, rombongan tersebut diterima dengan baik oleh masyarakat Palembang yang sudah tumbuh menjadi komunitas Islam.
Kekosongan kekuasaan di Palembang memberi peluang Ki Gede Suro menjadi penguasa di lembah Musi itu, dan berlanjut hingga anak cucunya.
Dinasti Ki Gede Suro pun membangun kerajaan kecil. Hampir seabad kemudian, setelah berhasil mengkonsolidasikan wilayah dan kekuasaan politiknya, pada 1659 Pangeran Ario Kesumo memproklamasikan diri sebagai Sultan Palembang I dengan gelar pertama dibawa Sri Susuhunan Sultan Abdurrahman Khalifat al-Mukminin Sayidil Iman.
Ketika itu Palembang sudah menjadi bandar yang ramai. Palembang hidup dari perdagangan hasil bumi, hutan, dan tambang. Pedagang Arab dan Tionghoa datang.
BACA JUGA:Menparekraf Tanam Bibit Mangrove di Desa Wisata Sungsang IV Banyuasin Sumsel
Sesuai peraturan yang berlaku ketika itu, para pedagang asing itu diijinkan bermukim di seberang Ulu, di seberang Sungai Musi dari arah Keraton yang kini ada di jantung Kota Palembang, yakti Benteng Kuto Besak.*
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: