BACA JUGA:Memahami Sejarah Candi Pari: Jejak Peradaban Majapahit di Sidoarjo!
Peran seperti tetua adat atau dukun tetap dihormati, namun tidak menciptakan kelas sosial yang kaku.
Nilai kebersamaan dan musyawarah sangat dijunjung tinggi, menjadi dasar utama dalam menyelesaikan persoalan.
Dalam hal ekonomi, mereka menggantungkan hidup pada pertanian ladang, menanam padi, jagung, dan umbi-umbian, serta mengembangkan kerajinan tangan dari bahan alam seperti rotan.
Bahasa dan Cerita Rakyat
Bahasa yang digunakan oleh Suku Pangudia termasuk dalam rumpun Muna-Buton, namun memiliki kekhasan tersendiri dalam pengucapan dan kosakata.
Bahasa ini menjadi penanda identitas yang kuat bagi komunitas tersebut, membedakannya dari kelompok etnis tetangga.
Tradisi lisan sangat penting dalam kehidupan mereka. Melalui dongeng, mitos, dan cerita rakyat yang diwariskan secara lisan oleh tetua, generasi muda diperkenalkan pada nilai-nilai adat dan sejarah nenek moyang.
Namun sayangnya, kurangnya dokumentasi membuat banyak cerita tradisional kini terancam punah.
BACA JUGA:Sejarah Suku Simalungun: Jejak Peradaban Tua dari Tanah Sumatera Utara!
Tantangan Modern dan Ancaman Kehilangan Identitas
Seiring berkembangnya zaman, masyarakat Pangudia mulai menghadapi berbagai tantangan. Modernisasi, migrasi, dan pengaruh budaya dominan membuat generasi muda semakin menjauh dari akar budayanya.
Bahasa ibu semakin jarang digunakan, tergantikan oleh bahasa Indonesia atau dialek Buton yang lebih umum.
Selain itu, karena kurangnya pengakuan resmi, keberadaan mereka sering kali tidak disebutkan secara khusus dalam catatan etnografi atau sensus penduduk, membuat identitas mereka semakin kabur.
Harapan dan Upaya Pelestarian