BACA JUGA:Sejarah Taman Makam Pahlawan Kalibata: Tempat Peristirahatan Terhormat bagi Para Pejuang Bangsa!
Taman ini menjadi cerminan gaya hidup kolonial yang mengedepankan estetika dan kenyamanan ala Eropa, yang diadaptasi ke dalam konteks tropis Batavia.
Di sisi lain, taman ini juga memperlihatkan stratifikasi sosial yang sangat nyata di era kolonial.
Meskipun taman terbuka untuk umum, kenyataannya hanya kalangan tertentu yang bisa menikmati kenyamanannya secara penuh.
Kaum pribumi yang ingin menikmati taman seringkali terbatas aksesnya, bahkan ada kebijakan tersirat yang membatasi interaksi lintas ras dan kelas sosial.
Perubahan Pasca-Kemerdekaan
BACA JUGA:Kejayaan Terakhir China Dinasti Qing dan Runtuhnya Kekaisaran Ribuan Tahun
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, wajah kota Jakarta berubah secara drastis. Taman Wilhelmina pun tak luput dari perubahan ini.
Nama taman diubah dan fungsinya bergeser seiring dengan pembangunan infrastruktur kota dan pertumbuhan penduduk yang pesat.
Banyak bagian taman yang kemudian dipakai untuk pembangunan gedung, termasuk Gedung Kesenian Jakarta yang kini berdiri megah di salah satu sudut taman.
Selain itu, sebagian besar area Taman Wilhelmina berubah menjadi kawasan perdagangan dan transportasi. Perkembangan ini membuat jejak taman semakin memudar, meski beberapa pohon tua dan elemen lanskap masih bisa dijumpai hingga kini.
Dalam ingatan kolektif warga Jakarta, taman ini perlahan terlupakan, kecuali oleh mereka yang menelusuri sejarah kota secara lebih dalam.
BACA JUGA:Kejayaan Terakhir China Dinasti Qing dan Runtuhnya Kekaisaran Ribuan Tahun
Upaya Pelestarian dan Ingatan Kolektif
Meskipun bentuk fisik Taman Wilhelmina sudah banyak berubah, upaya untuk mengingat dan melestarikan sejarahnya tetap dilakukan oleh sejarawan, komunitas pemerhati kota, dan pemerintah.
Gedung Kesenian Jakarta, yang dulunya merupakan bagian dari kompleks taman, kini menjadi simbol pelestarian nilai sejarah kawasan tersebut.