Hari ini, 75 tahun setelah RIS, dilema itu muncul lagi dalam bentuk yang berbeda.
Otonomi terasa setengah hati karena pusat mengontrol terlalu banyak daerah.
Pembangunan tidak merata. Kesenjangan antardaerah masih mencolok,Ada yang kebanjiran anggaran, ada yang nyaris lupa dilirik.
Kita memang bukan lagi negara serikat, tapi tuntutan untuk desentralisasi semakin besar.
BACA JUGA:Terungkap Jejak Islam Abad 13 di Nusantara yang Mengubah Sejarah Bangsa
Tentu tidak seperti RIS dulu, yang lahir dari tekanan Belanda.
Tapi lahir dari kebutuhan zamankita pun belajar dari negara serikat lain.
Amerika Serikat, misalnya, Bisa kuat karena ada kesadaran nasional yang tinggi.
Negara bagian tetap tunduk pada konstitusi federal meskipun memiliki kekuasaan.
BACA JUGA:Sejarah Berdarah Inilah Jejak Kelam Westerling yang Masih Membekas di Sulawesi
Jangan sampai, jika kita federal, malah jadi feodal.
Dilema republik serikat adalah bahwa, meskipun ia tampak seperti jalan yang adil, jika dasar-dasarnya rapuh, itu juga dapat menjadi jebakan.
Maka kuncinya bukan di bentuk negara,Tapi di niat.
Indonesia memang sudah memilih jadi negara kesatuan. Tapi diskusi soal serikat tak pernah mati.
Karena keadilan, seperti halnya kemerdekaan, bukan soal bentuk. Tapi soal rasa.