PAGARALAMPOS.COM - Jakarta mungkin adalah satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki jumlah sungai terbanyak, membelah wilayahnya dari Selatan ke Utara.
Secara kasar, setidaknya terdapat enam hingga tujuh sungai besar yang mengalir di Jakarta. Di bagian Barat, kita menemukan Kali Angke, Kali Krukut, dan Kali Grogol.
Di tengah kota, mengalir Kali Ciliwung, sementara di bagian Timur ada Kali Gunung Sahari dan Kali Sunter.
Tak hanya itu, ada Kali Besar yang menampung aliran Kali Krukut di ujung Barat Jalan Pancoran, berdekatan dengan Medan Glodok, lalu mengalir ke arah Barat sebelum belok ke Utara.
Tak hanya itu, ada Kali Besar yang menampung aliran Kali Krukut di ujung Barat Jalan Pancoran, berdekatan dengan Medan Glodok, lalu mengalir ke arah Barat sebelum belok ke Utara.
Belum lagi banyak anak sungai, saluran, atau parit yang menghubungkan satu aliran sungai dengan yang lainnya, yang tentu saja bisa membingungkan jika harus ditelusuri satu per satu, terutama bagi orang awam seperti saya, dan mungkin Anda juga.
Di masa lalu, jumlah sungai yang ada jauh lebih banyak, terutama di bagian Utara kota yang dikenal oleh orang Belanda sebagai "benedenstad" atau "kota bawah", dari daerah Mangga Besar menuju Utara.
Di masa lalu, jumlah sungai yang ada jauh lebih banyak, terutama di bagian Utara kota yang dikenal oleh orang Belanda sebagai "benedenstad" atau "kota bawah", dari daerah Mangga Besar menuju Utara.
Kali Ciliwung, yang alirannya lurus dari Harmoni ke Utara, kini berbelok ke Timur setibanya di seberang Jalan Labu di Hayam Wuruk, dan kemudian menumpahkan airnya ke dalam Kali Tangki di sisi Utara jalan tersebut.
"Tempo doeloe," aliran Ciliwung masih terus mengalir ke Utara, mengikuti sisi Timur Medan Glodok, sebelum akhirnya membelok ke arah Timur setelah melewati gedung bioskop Pelangi yang kini sudah menjadi pertokoan Harco. Di masa itu, Ciliwung juga mungkin mengalir ke Kali Besar yang membentang dari Timur ke Barat, menyusuri Jalan Pancoran hingga melewati jembatan Toko Tiga, sebagaimana terlihat dalam peta lama karya C. E. Reimer tahun 1788 yang dikutip dalam buku Dr. De Haan, "Oud Batavia".
BACA JUGA:Sejarah Bangkai Kapal Batavia, Karam Akibat Kebrutalan Bajak Laut
Bagian dari Kali Besar yang terdapat di Jalan Pancoran kini sudah tidak ada, mungkin telah berubah menjadi saluran tertutup.
Mendiang ayah saya sering bercerita bahwa hingga akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, Jalan Kongsi Besar masih dialiri oleh sebuah sungai.
Sungai itu mengalir tepat di tengah jalur yang kini dipenuhi kios-kios. Saat saya masih remaja, sungai di Kongsi Besar itu sudah tidak ada lagi.
Yang tersisa hanyalah palang-palang buis besi dengan diameter sekitar 10 sentimeter yang dulunya mengelilingi sungai tersebut.
Sungai tersebut kini telah berubah menjadi lapangan tempat bermain anak-anak, terutama di sore hari.
Pada tahun 1944-45, saat masa penjajahan Jepang, palang-palang itu pun dibongkar, bersama palang-palang serupa yang mengelilingi tepi Kali Ciliwung.
Pada tahun 1944-45, saat masa penjajahan Jepang, palang-palang itu pun dibongkar, bersama palang-palang serupa yang mengelilingi tepi Kali Ciliwung.
Konon, palang-palangan itu diangkut ke Jepang karena pada waktu itu industri perang Jepang kekurangan bahan baku besi.
Ada yang menyebut bahwa di masa pemerintahan VOC atau Kompeni, terdapat banyak kali yang tercatat berdasarkan cerita masyarakat Betawi asli.
Ada yang menyebut bahwa di masa pemerintahan VOC atau Kompeni, terdapat banyak kali yang tercatat berdasarkan cerita masyarakat Betawi asli.
Pada masa itu, orang Belanda sangat gemar menggali kali-kali buatan yang mereka sebut "gracht" (jamak: "grachten").
Hal ini dilakukannya mungkin karena kerinduan akan kota Amsterdam di tanah air mereka, yang hingga kini masih dipenuhi dengan banyak "gracht".
Selain itu, terdapat juga kali-kali yang dibuat oleh pihak swasta dengan izin dari Kompeni. Teks ini bukanlah hasil dari rasa rindu, melainkan hasil pertimbangan komersial dan ekonomi.
Kali-kali dan gracht yang telah dijelaskan sebelumnya saling menghubungkan aliran sungai alami satu dengan yang lainnya.
Sungai-sungai ini berfungsi sebagai jalur utama bagi transportasi barang, sehingga banyak perahu yang "memotong kompas" untuk berpindah dari satu aliran sungai ke aliran lainnya agar bisa sampai lebih cepat ke tujuan.
Dalam situasi tersebut, mereka akan memasuki kali-kali buatan, dan pemilik atau pembuat kali tersebut mewajibkan perahu-perahu itu membayar "tol", mirip dengan kendaraan bermotor yang membayar tol saat melewati jalan-jalan tertentu, seperti di Jagorawi.
Kali Ciliwung, terutama bagian lurus dari Harmoni ke arah Utara, dulunya adalah kali swasta yang mengenakan tarif tol untuk setiap perahu yang melintas.
Kali Ciliwung, terutama bagian lurus dari Harmoni ke arah Utara, dulunya adalah kali swasta yang mengenakan tarif tol untuk setiap perahu yang melintas.
Mungkin Anda pernah mengetahui atau mendengar bahwa kali ini, yang dikenal oleh orang Belanda sebagai "Molenvliet", dibuat oleh kepala warga Cina di Betawi, yaitu Phoa Bing Ham, yang dalam lidah Belanda disebut Bingam.
BACA JUGA:Taman Ismail Marzuki: Pusat Kebudayaan dan Seni Jakarta yang Menyatu dengan Sejarah!
BACA JUGA:Taman Ismail Marzuki: Pusat Kebudayaan dan Seni Jakarta yang Menyatu dengan Sejarah!
Pada tahun 1648, Bingam memperoleh izin dari Kompeni untuk membuat kali tersebut dan memungut tol dari perahu-perahu yang melintasinya.
Namun, pada tahun 1654, "Molenvliet" diambil alih oleh Kompeni seharga 1. 000 real.
Bingam melepaskan haknya karena eksploitasi kali sudah tidak menguntungkan seiring dengan penggalian saluran-saluran baru oleh Kompeni sendiri.
Di masa itu, terdapat sejumlah nama jalan di bagian Utara kota yang dikenal sampai pecahnya Perang Dunia II, seperti Amsterdamschegracht (sekarang Jalan Tongkol), Leeuwinnegracht (sekarang Jalan Cengkeh), dan Groenegracht (sekarang Jalan Kali Besar Timur III).
Di masa itu, terdapat sejumlah nama jalan di bagian Utara kota yang dikenal sampai pecahnya Perang Dunia II, seperti Amsterdamschegracht (sekarang Jalan Tongkol), Leeuwinnegracht (sekarang Jalan Cengkeh), dan Groenegracht (sekarang Jalan Kali Besar Timur III).
Nama-nama ini menunjukkan bahwa di zaman Kompeni, terdapat banyak kali buatan yang melintasi daerah tersebut.
Pada masa lalu, selain berfungsi sebagai sarana pencegahan banjir dan transportasi barang, sungai-sungai juga menjadi sumber utama air minum bagi warga kota.
Pada masa lalu, selain berfungsi sebagai sarana pencegahan banjir dan transportasi barang, sungai-sungai juga menjadi sumber utama air minum bagi warga kota.
Dr. De Haan, yang tercantum dalam bukunya, menjelaskan bahwa hingga abad ke-19, air Kali Ciliwung masih digunakan oleh warga Belanda di Betawi sebagai sumber air minum.
Air dari kali ini awalnya ditampung di semacam waduk ("water plaats" atau "aquada") yang pertama kali dibangun dekat benteng "Jacatra" di bagian Utara kota, lalu lokasinya dipindahkan ke tepi "Molenvliet" di sekitar daerah Medan Glodok yang ada sekarang.
Air dari kali ini awalnya ditampung di semacam waduk ("water plaats" atau "aquada") yang pertama kali dibangun dekat benteng "Jacatra" di bagian Utara kota, lalu lokasinya dipindahkan ke tepi "Molenvliet" di sekitar daerah Medan Glodok yang ada sekarang.
Seperti dijelaskan sebelumnya, pada masa itu, Molenvliet mengalir terus ke Utara setelah membelok ke Timur di seberang Jalan Labu yang kini ada.
Waduk tersebut dilengkapi dengan pancuran-pancuran kayu yang mengalirkan air dari ketinggian sekitar 10 kaki (sekitar 3 meter).
Karena itulah, daerah di sekitar waduk dikenal dengan nama Pancuran, yang dalam bahasa Betawi menjadi Pancoran.
Dari tempat itu, air diangkut menggunakan perahu oleh penjual air dan dijajakan di dalam kota.
Dari tempat itu, air diangkut menggunakan perahu oleh penjual air dan dijajakan di dalam kota.
Sayangnya, pemahaman masyarakat pada masa itu tentang higienitas dan kesehatan sangat minim. Air Kali Ciliwung diminum langsung tanpa proses penyaringan seperti yang dilakukan oleh PAM sekarang.
Kondisi ini kemudian menimbulkan masalah kesehatan yang serius di kalangan warga Belanda.
Pada abad ke-18 dan dekade pertama abad ke-19, penyakit disentri, tipus, bahkan kolera, merebak di antara mereka, dengan air Kali Ciliwung disebut sebagai salah satu penyebabnya.
Berdasarkan informasi dari buku Dr. De Haan, terdapat perbedaan pendapat di antara para ahli Belanda mengenai kualitas air Ciliwung.
Pada tahun 1648, beberapa ahli berpendapat bahwa air tersebut sangat baik (voor-treffelijk).
Hal ini mungkin berlaku selama daerah-daerah di pinggiran kota, terutama di hulu kali, masih dipenuhi hutan yang belum terjamah.
Namun, seiring dengan semakin banyaknya pembukaan hutan dan penggarapan tanah dikarenakan meningkatnya pemukiman, kualitas air kali pun mengalami penurunan.
Namun, seiring dengan semakin banyaknya pembukaan hutan dan penggarapan tanah dikarenakan meningkatnya pemukiman, kualitas air kali pun mengalami penurunan.
Pada tahun 1689, seorang ahli mencatat bahwa air yang mengalir dari pancuran waduk di Pancoran sangat keruh, bahkan berlumpur saat musim hujan.
BACA JUGA:Menyikapi Kisah Sejarah Gedung Filateli Jakarta: Warisan Kolonial di Jantung Kota!
BACA JUGA:Menyikapi Kisah Sejarah Gedung Filateli Jakarta: Warisan Kolonial di Jantung Kota!
Sekitar tahun 1685, seorang ahli lainnya secara tegas menyatakan bahwa air tersebut mengandung "binatang-binatang halus" yang tidak terlihat (onzichtbare beesjens).
Binatang halus ini, yang kemungkinan besar merujuk kepada kuman, dapat dibunuh jika air direbus sebelum diminum, seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang India dan masyarakat "pribumi" lainnya.
Ini menunjukkan bahwa kesehatan dapat lebih terjaga jika orang hanya mengonsumsi air yang sudah dimasak.
Lebih dari itu, pada tahun 1661, ada laporan dari Banjarmasin yang mengungkapkan bahwa orang Belanda di sana biasa membiarkan air minum mereka mengendap selama satu hari sebelum memasaknya.
Lebih dari itu, pada tahun 1661, ada laporan dari Banjarmasin yang mengungkapkan bahwa orang Belanda di sana biasa membiarkan air minum mereka mengendap selama satu hari sebelum memasaknya.
Namun, orang Belanda di Betawi masih merasa ragu.
Ketika penyakit-penyakit tersebut jarang atau tidak pernah menyerang orang Cina di Betawi yang sehari-harinya terbiasa minum teh, seorang dokter bernama Thunberg berpendapat bahwa pencegahan penyakit tersebut bukan disebabkan oleh cara memasak air, melainkan manfaat dari daun teh itu sendiri.
Ketika penyakit-penyakit tersebut jarang atau tidak pernah menyerang orang Cina di Betawi yang sehari-harinya terbiasa minum teh, seorang dokter bernama Thunberg berpendapat bahwa pencegahan penyakit tersebut bukan disebabkan oleh cara memasak air, melainkan manfaat dari daun teh itu sendiri.
Lebih mengejutkan lagi, ada seorang ahli ternama yang menyatakan bahwa air Ciliwung pada kenyataannya tidak seburuk yang dianggap selama orang mau mengabaikan segala sesuatu yang biasanya dibuang ke dalam kali tersebut.
Anehnya, tidak terlintas dalam pikiran orang Belanda di Betawi untuk menggunakan air sumur sebagai air minum, meskipun saat itu banyak rumah yang sudah dilengkapi dengan sumur.
BACA JUGA:Terungkap Jelas! Inilah Jejak Sejarah Sungai Musi dari Sriwijaya Hingga Kota Palembang Modern
Air sumur tentu lebih jernih dan kurang terpapar polusi dibandingkan air kali, asalkan cara pembuatan sumur dilaksanakan dengan baik dan dirawat dengan benar.
Air sumur tentu lebih jernih dan kurang terpapar polusi dibandingkan air kali, asalkan cara pembuatan sumur dilaksanakan dengan baik dan dirawat dengan benar.
Namun, pada umumnya, air sumur hanya digunakan untuk keperluan dapur.
Pada akhirnya, para pengamat mulai menyadari bahwa kualitas air yang diminum sangat berpengaruh terhadap kesehatan.
Antara abad ke-17 dan ke-19, telah ada upaya-upaya untuk menjernihkan air kali agar dapat diminum.
Prosesnya cukup sederhana: air ditampung dalam tempayan (martavaan), diendapkan dalam beberapa tempayan secara berurutan, sehingga ketika memasuki tempayan terakhir, airnya sudah tampak jernih.
Walau demikian, apakah air itu bebas dari kuman masih menjadi pertanyaan yang belum terjawab.
Pada tahun 1811, ketika pecah perang antara Belanda dan Inggris dengan ancaman mendaratnya tentara Inggris di Betawi, pemerintah kota mengeluarkan perintah untuk menghancurkan semua tempayan, kecuali yang sangat diperlukan.
Pada tahun 1811, ketika pecah perang antara Belanda dan Inggris dengan ancaman mendaratnya tentara Inggris di Betawi, pemerintah kota mengeluarkan perintah untuk menghancurkan semua tempayan, kecuali yang sangat diperlukan.
Tujuannya adalah agar tentara Inggris, ketika mendarat di Betawi, tidak mendapatkan air minum yang bersih, sehingga mereka terpaksa mengonsumsi air dari kali yang dapat menyebabkan sakit perut.
Sejarah menunjukkan bahwa strategi "bumi hangus" ini tidak memberikan dampak yang signifikan.
Salah satu metode penjernihan air yang lain adalah dengan menggunakan alat yang disebut "leksteen".
Salah satu metode penjernihan air yang lain adalah dengan menggunakan alat yang disebut "leksteen".
Leksteen ini merupakan semacam kendi berbentuk tabung, terbuat dari keramik dan dilengkapi dengan kran di bagian bawahnya.
Di dalam leksteen terdapat "kendi tabung" yang lebih kecil, terbuat dari batu karang yang porous.
Di dalam leksteen terdapat "kendi tabung" yang lebih kecil, terbuat dari batu karang yang porous.
Air dimasukkan ke dalam tabung kecil tersebut, di mana air akan mengendap dan merembes ke tabung luar yang lebih besar. Ketika kran dibuka, air yang mengalir akan terasa jernih dan sejuk.
Beberapa tahun lalu, saya pernah melihat sebuah leksteen yang merupakan peninggalan zaman kuno di rumah seorang paman saya, sebelum beliau meninggal dunia.
Penggunaan tempayan untuk mengendapkan air minum dan menyimpan persediaan air sudah menjadi hal yang umum bagi masyarakat biasa sejak lama, bahkan sebelum kedatangan orang Barat.
Kendi air juga sudah lazim digunakan oleh masyarakat kita "tempo doeloe". Perbedaannya, kendi-kendi tersebut terbuat dari tanah liat, begitu juga dengan tempayan-tempayan.
BACA JUGA:Kota Tua Jakarta: Jejak Sejarah di Tengah Modernitas!
Beberapa tahun lalu, saya pernah melihat sebuah leksteen yang merupakan peninggalan zaman kuno di rumah seorang paman saya, sebelum beliau meninggal dunia.
Penggunaan tempayan untuk mengendapkan air minum dan menyimpan persediaan air sudah menjadi hal yang umum bagi masyarakat biasa sejak lama, bahkan sebelum kedatangan orang Barat.
Kendi air juga sudah lazim digunakan oleh masyarakat kita "tempo doeloe". Perbedaannya, kendi-kendi tersebut terbuat dari tanah liat, begitu juga dengan tempayan-tempayan.
BACA JUGA:Kota Tua Jakarta: Jejak Sejarah di Tengah Modernitas!
Di sisi lain, terdapat orang-orang Belanda di Betawi yang tampaknya enggan meminum air kali meskipun sudah dijernihkan.
Dr. De Haan menyebutkan bahwa sebagian orang Belanda biasa mengonsumsi "air impor" atau "Seltzelwater", yang pada masa itu banyak didatangkan dari luar negeri dengan sebutan "ayer Belanda".
Harganya sangat mahal: satu ringgit (rijksdaalder atau dua ratus lima puluh sen gulden) per guci kecil (kruik). Oleh karena itu, hanya orang-orang kaya yang mampu membelinya.
(Secara kebetulan, hingga Perang Dunia II, nama "ayer Belanda" atau "air Belanda" masih dikenal di sini. Kini lebih dikenal sebagai "air soda" yang diproduksi di dalam negeri).
BACA JUGA:Bikin Merinding! Ini dia Sungai Amazon Menyelami Warisan Sejarah dan Kekayaan Alam yang Menakjubkan
(Secara kebetulan, hingga Perang Dunia II, nama "ayer Belanda" atau "air Belanda" masih dikenal di sini. Kini lebih dikenal sebagai "air soda" yang diproduksi di dalam negeri).
BACA JUGA:Bikin Merinding! Ini dia Sungai Amazon Menyelami Warisan Sejarah dan Kekayaan Alam yang Menakjubkan
Selain itu, orang-orang Belanda yang cukup mapan secara finansial juga mendatangkan air minum dari daerah Bogor (1773), yang berasal dari sumber air yang jernih.
Konon, Gubernur Jenderal Belanda pada saat itu juga menerima suplai air dari "Lontho" (Lontar di daerah Bogor).
Hingga dekade kedua abad ke-20, penggunaan air sumber untuk diminum juga menjadi populer di kalangan masyarakat Betawi.
Saat saya masih kecil dan suka berlari-lari di jalan dengan mengenakan celana monyet, kampung tempat tinggal keluarga saya terkadang dikunjungi oleh "gerobak tangki" yang menjajakan air sumber dari Kampung Lima.
Hingga dekade kedua abad ke-20, penggunaan air sumber untuk diminum juga menjadi populer di kalangan masyarakat Betawi.
Saat saya masih kecil dan suka berlari-lari di jalan dengan mengenakan celana monyet, kampung tempat tinggal keluarga saya terkadang dikunjungi oleh "gerobak tangki" yang menjajakan air sumber dari Kampung Lima.
Saya pun tidak tahu pasti di mana letak kampung itu.
Ibu saya selalu membelinya untuk menambah persediaan air minum kami, yang sebagian besar terdiri dari air hujan yang ditampung setiap kali turun hujan deras dan disimpan serta diendapkan oleh almarhum ayah saya dalam beberapa tempayan tanah liat.
Ibu saya selalu membelinya untuk menambah persediaan air minum kami, yang sebagian besar terdiri dari air hujan yang ditampung setiap kali turun hujan deras dan disimpan serta diendapkan oleh almarhum ayah saya dalam beberapa tempayan tanah liat.