Pemerintah Hindia Belanda mampu menjaga ketertiban di wilayah jajahan meski menghadapi perlawanan dari penjajah.
Para penjajah juga tidak mempunyai kekuatan politik seperti pemerintah Hindia Belanda karena penguasa dan rajanya telah hilang atau berada di bawah kekuasaan kolonial.
Contoh monopoli politik ini adalah status kerajaan di selatan Jawa setelah Perjanjian Zyanti (1755). Kedudukan sultan sangat bergantung pada penguasa kolonial.
Setelah berakhirnya Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, politik khas Jawa di Kesultanan Yogyakarta lambat laun menjadi lumpuh dan digantikan oleh pemerintahan Hindia Belanda.
Periode ini disebut Pax Nederlandica (Kedamaian di Bawah Belanda), di mana hukum dan tatanan politik terpusat oleh kepemimpinan pemerintahan Hindia Belanda di Batavia. Penguasa lokal tidak punya kekuasaan sebebas masa sebelumnya.
Demi mendapat penguasaan tunggal ini juga harus melibatkan politik adu domba (devide et impera) terhadap penguasa-penguasa lokal.
Dengan demikian, pada abad ke-19, Hindia Belanda yang melanjutkan VOC, berkuasa penuh atas tanah jajahan di wilayah yang kini disebut Indonesia.
Tidak ada lagi kerajaan-kerajaan atau penguasa lokal yang punya kekuatan politik mengalahkan mereka.
Kemudahan Distribusi Perdagangan
Selain dengan kerajaan atau penguasa lokal, Belanda juga bersaing dengan imperium Barat lainnya. Imperium bangsa Barat seperti Inggris, Spanyol, dan Portugis adalah rival perdagangan rempah internasional bagi Belanda.
Semuanya berlomba-lomba membangun benteng dan persekutuan dengan penguasa lokal, supaya perdagangannya tetap efisien.
Agar lebih efisien baik dari segi produksi dan distribusi, lawan bisnis harus ditiadakan. Inilah manfaat monopoli perdagangan.
Dengan demikian, Belanda harus bermain politik, termasuk perang, perebutan basis perdagangan atau militer, dan sistem perdagangan.
Salah satu contohnya adalah bagaimana berbagai benteng dan kekuasaan Portugis yang lebih dulu ada di Malaka dan Maluku sejak pertengahan abad ke-16.