“Sudah lama. Sejak istriku masih ada. Dulu di sini ada beberapa rumah, namun belakangan pindah ke Sumatra ikut transmigasi. Dulu istriku tak mau kuajak ikut ke sana. Dan hanya inilah tanah yang kupunya,” ucapnya di sela batuk dan napas tersengal.
BACA JUGA:Menelusuri Misteri Danau Kakaban, Jejak Evolusi di Kepulauan Derawan
Kuhirup napas dalam-dalam untuk mengurai udara yang tiba-tiba terasa penat. Di luar hujan kian menderas. Udara semakin dingin. Kuselimutkan jarit lusuh berbau pesing ke tubuhnya yang kurus.
“Berapa anak Bapak?” tanya Marwal.
“Aku punya tiga anak. Namun hanya bungsuku yang mau merawatku.”
“Sudah makan Pak?” tanyaku kemudian.
BACA JUGA:Mengungkap Kisah Mistis dan Misteri yang Mneyelimuti Gunung Salak
“Biasanya sebentar lagi anakku datang membawakan makanan. Aku sudah tak bisa lagi bergerak. Jika dia tak pulang, aku tak akan makan,” lirih mulutnya yang kering itu bersuara.
Dan benar, detik berikutnya pintu berderit. Lalu muncullah seorang bocah bercaping lebar membawa sebuah kantung plastik berwarna hitam.
Tubuh dan bajunya telah basah.
Wajahnya mendadak pucat tatkala melihat kami duduk mengitari bapaknya.
BACA JUGA:Menjelajah 11 Keajaiban Sejarah Indonesia yang Menyimpan Penuh Misteri dan Rahasia
“Ayo, cepat kita pulang,” ujarnya seraya menyambar kantung plastik itu dan segera berlari keluar dari gubuk.
Kami bertiga saling pandang, merasakan kebingungan yang sama. Namun, tanpa kata-kata, kami segera mengikuti anak lelaki itu keluar dari gubuk.
Hujan semakin deras membasahi bumi. Langit telah gelap, menyelimuti seluruh desa Sono Kliwon dengan ketenangan yang mendalam.
Dalam perjalanan pulang, kami hanya sesekali bertukar pandang. Terdapat keraguan dan ketidakpastian di antara kami.