Namun, lantaran kerangka berukuran kecil lebih mudah terurai dan pecah daripada tulang dinosaurus yang besar dan kokoh, fosil kecil sekali jarang ditemukan.
Khususnya rahang mamalia lengkap dengan gigi, akan sangat membantu ahli paleontologi untuk mengukur bagaimana nasib kerabat manusia purba dari waktu ke waktu.
BACA JUGA:Menghormati Tradisi dan Menemukan Sejarah di Timur Tengah, Arkelog Arab Dilarang Lakukan Ini
BACA JUGA:Kampung Tua Bakkara, Jejak Sejarah Dinasti Sisingamangaraja di Tanah Batak Toba
Koleksi fosil dari Canadon Tomas pun akan menjadi pembuktian terhadap hipotesis ahli paleontologi tentang masa-masa prasejarah tersebut.
Misalnya, beberapa penelitian menunjukkan, jumlah spesies dinosaurus mungkin telah menurun di belahan Bumi utara selama akhir Zaman Kapur.
Kondisi itu disinyalir membuat hewan ini lebih rentan terhadap kepunahan saat asteroid menghantam Bumi.
"Sering kali diasumsikan bahwa di benua selatan, pola-pola ini mencerminkan pola yang ada di benua utara, tapi apakah itu benar?" Lamanna bertanya-tanya.
BACA JUGA:Sejarah Bajak Laut di Kekaisaran Tiongkok, Berlayar Bersama Armada 80.000 Perompak
BACA JUGA:Menelusuri Jejak Sejarah Berdirinya Klenteng Sam Poo Kong di Semarang
Hal tersebut turut dipertanyakan Alexander Vargas, ahli paleontologi dari University of Chile yang tidak terlibat dalam penelitian baru ini.
Meski semua dinosaurus non-unggas punah setelah peristiwa tersebut, para ahli masih belum mengetahui nasib spesies yang hidup di belahan Bumi selatan.
"Ada kemungkinan bahwa jarak dari lokasi dampak (jatuhnya asteroid) mendukung kelangsungan hidup beberapa kelompok di daratan selatan, seperti mamalia monotreme dan nenek moyang marsupial modern," kata Vargas.
Hal tersebut akan membantu menjelaskan mengapa kelompok mamalia ini ada di daratan selatan saat ini, tetapi hampir seluruhnya tidak ada di wilayah utara.
BACA JUGA:Mengulik Sejarah Vihara Avalokitesvara Buddhagaya Watugong, Semarang, Indonesia
BACA JUGA:Tetap Berdiri Kokoh! Inilah Sejarah Berdirinya Benteng Pendem Ambarawa