Inilah tanya jawab antara hakim dengan suami istri itu seingat Satar. Demi menjaga kerahasiaan, Satar meminta nama dan alamat Pasutri ini tak ditulis:
Hakim: “Mengapa kamu mau minta saghak (cerai)”? Tanya hakim kepada istri yang jadi penggugat.
Istri: “Lukmane pule kebile layar tekembang angin mati,”
BACA JUGA:Indonesia, Tradisi 'Nyemantung' Suku Besemah di Sumatera Selatan, Cara PDKT Nenek Moyang
Hakim: “Benarkah demikian apa yang diucapkan istrimu itu”?tanya hakim kepada suami yang digugat
Suami: Lukmane pule pak hakim, ame biduk nak masuk muare penuh li gumpai....
Tanya jawab itu terus itu terjadi. Dan Satar-juga orang yang mengikuti sidang-mulai terlihat senyum-senyum. Yang tak tahan menawan tawa, termasuk Satar, mohon pamit ke luar ruangan sidang.
Di masa itu, Pengadilan Adat memang sudah hadir untuk menyelesaikan pelbagai persoalan masyarakat Besemah. Dan sengkarut rumah tangga diakui Satar memang acap masuk dalam persidangan.
BACA JUGA:Indonesia, Ternyata Suku Besemah Sudah Memiliki Pengadilan Adat, Begini Isi Aturannya!
Konsep pengadilan adat ini sendiri mirip dengan pengadilan modern. Menurut Satar, Pengadilan Adat ini dipimpin satu orang hakim ketua dan dua orang hakim anggota.
“Hakim jumlahnya harus ganjil,”ucapnya. Di dalam pengadilan adat juga ada yang namanya pemimpin rapat dan penulis perkara. Satar masuk dalam bagian pembantu penulis perkara ini.
Juga ada petugas yang disebut dengan pendamping perkara semacam pengacara di zaman sekarang.
Satar melanjutkan, di masa itu, pengadilan adat dibagi menjadi empat tingkatan yakni rapat marga, rapat kecil, rapat besar dan rapat tinggi.
BACA JUGA:Ini 4 Merk Aki Motor Terbaik di Indonesia Idaman Pembeli Cerdas, Cek Merk Nya Disini!
Bila sebuah persoalan tak tuntas di satu tingkatan, akan diteruskan ke tingkatan di atasnya. “Saya bertugas di rapat kecil Pagaralam,”ucapnya.
Untuk memutuskan suatu perkara, pengadilan mengacu hukum yang berlaku. Satar menyebutkan, di masa itu, hukum yang berlaku adalah yang dibuat Ratu Senuhun.