Hukum tertulis ini disebut dengan Undang-undang Simbur Cahye. “Undang-undang Simbur Cahye yang pertama, itu ditulis dengan surat ulu,”ucap Satar. “Di zaman Belanda, Simbur Cahye ditulis ulang dengan huruf latin,”tambahnya.
Sayang, Satar sudah lupa jumlah pasal yang ada dalam UU Simbur Cahye. Tapi, dia memastikan, UU ini menjangkau ke seluruh aspek kehidupan masyarakat.
BACA JUGA:Menggali Misteri Gunung Padang, Penemuan Koin dan Artefak Kuno yang Memukau
Dicontohkannya, ada satu aturan tentang larangan untuk masuk halaman orang sembarangan. Larangan ini disebut dengan istilah ‘kumbang melilit kandang’. “Kalau terbukti melanggar, kena denda 200 ringgit,”sebut dia.
Formal dan Non Formal
Gambaran pengadilan adat yang diceritakan Satar itu, disebut Ahmad Bastari Suan sebagai pengadilan formal. Pengadilan formal, ujar pemerhati sejarah Besemah ini, cirinya-cirinya sudah dilembagakan dan memiliki landasan hukum tertulis.
“Mirip-mirip pengadilan di masa sekarang,”kata Satar, dihubungi Pagaralam Pos kemarin.
BACA JUGA:Ada Green Canyon Juga? Inilah 6 Tempat Wisata Kabupaten Lahat Paling Populer
Jauh sebelumnya, kata Bastari, masyarakat Besemah sudah mengenal yang namanya pengadilan non formal. Disebut demikian jelas dia, karena pengadilan jenis ini belum dilembagakan dan tidak memiliki landasan hukum tertulis.
Pengadilan non formal ini dimulai dari kumpul dusun laman, rapat sumbai, dan lampek empat merdike duwe.
Bastari menjelaskan, kumpul dusun laman merupakan pengadilan untuk menyelesaikan sebuah perkara di sebuah dusun seperti berkelahi, berebut sumber mata air.
Di dalam forum inilah jungku, dan yang berselisih dipanggil. “Kumpul dusun laman dapat dilakukan dengan catatan kalau jeme ribut itu satu dusun,”ucap penulis buku tentang sejarah Besemah ini.
BACA JUGA:Indonesia, Tradisi 'Nyemantung' Suku Besemah di Sumatera Selatan, Cara PDKT Nenek Moyang
Adapun rapat sumbai merupakan pengadilan non formal bagi yang berselisih berasal dari lain dusun tapi masih dalam satu sumbai.
Sedangkan lampek empat merdike duwe kata Bastari merupakan forum pengadilan non formal tertinggi. Pengadilan ini biasanya digelar bila sebuah perkara sudah luas dan melibatkan antar sumbai.
Keberadaan pengadilan adat ini pernah diteliti oleh Aryo Arungdinang, seorang Pamong Budaya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Pagaralam. Aryo menyatakan, berdasarkan hasil penelitian, pengadilan adat merupakan sebuah fakta sejarah.