Naga memainkan peran penting dalam mitologi Yunani kuno, menggambarkan mereka sebagai ular besar dengan kemampuan meludah atau menghirup racun. Kata “naga” berasal dari kata Yunani “drakōn”, yang berasal dari kata Latin “draco”, yang berarti ular besar dan menyempit. Orang Yunani kuno menulis tentang beberapa makhluk mirip ular termasuk Typhon, Ladon, Hydra, dan naga Colchian, yang dimaksudkan untuk menimbulkan ketakutan di hati para pahlawan besar. Mitologi Jerman juga menggambarkan naga, yang dikenal sebagai “cacing”, sebagai ular besar berbisa, dengan sayap seperti kelelawar.
BACA JUGA:Wajib Kamu Ketahui, Di Indonesia Ternyata Terdapat Bangunan Paling Bersejarah dan Diakui UNESCO!
Namun, perbedaan antara naga Jerman dan ular biasa sering kali kabur pada penggambaran awal, keduanya disebut sebagai “ormr” dalam mitologi Nordik atau “wyrm” dalam bahasa Inggris Kuno. Evolusi cacing tak bersayap menjadi naga terbang berkaki empat kemungkinan besar disebabkan oleh pengaruh negara-negara Eropa lainnya, yang difasilitasi oleh Kristenisasi wilayah tersebut pada tahun-tahun berikutnya. 6. Naga dalam Suku Aztec dan Maya Lebih jauh ke selatan, di antara peradaban Aztec dan Maya, penggambaran naga sebagai ular berbulu ada di mana-mana.
Pertama kali dipuja di Teotihuacan pada abad ke-1 SM, dewa tersebut awalnya digambarkan sebagai ular sungguhan.
BACA JUGA:Mengenal Masjid Tua Tondon, Jejak Sejarah Islam di Kabupaten Enrekang
Namun seiring berjalannya waktu, dewa ini berubah menjadi sosok yang juga memiliki ciri-ciri mirip manusia. Suku Maya Yucatec memuja Kulkulkan, sedangkan suku Aztec kemudian memuja Quetzalcoatl, keduanya melambangkan ular berbulu, dewa dasar dalam mitologi wilayah tersebut.