Sebagai contoh Dyah Wijaya (1293-1309 M), sang pendiri Majapahit.
BACA JUGA:Misteri 3 Ton Logam Mulia di Gunung Padang Belum Terpecahkan! Begini Ulasan Lengkapnya
Pasca kejatuhan Singasari, dalam pelariannya Dyah Wijaya didampingi segelintir perwira yang setia, ada kemungkinan sejak kecil mereka dididik bersama-sama di lingkungan istana.
Hal serupa ini juga dapat kita jumpai pada kisah Alexander Agung (356-323 SM), Raja Makedonia yang dikelilingi jenderal-jenderal yang setia, karena sejak muda mereka dididik bersama-sama di “kadewaguruan” Aristoteles.
Kedua, lembaga pendidikan di luar istana yang dapat diikuti oleh rakyat, biasanya disebut kadewaguruan, mandala, atau karesyian.
Ada dua jenis kadewaguruan :
Yang pertama dibangun di wilayah Dharma lpas, yakni tanah yang dihibahkan raja untuk para agamawan, sehingga lembaga ini berada di bawah pengawasan istana.
BACA JUGA:Tradisi Ritual Aneh 5 Suku Indonesia Ini Benar - benar Nyata Lho! Ini Dia Tradisinya
Dan yang kedua adalah kadewaguruan “liar”, yang berdiri independen dan tidak diawasi oleh istana.
Karena berakar pada arus bawah dan peserta didiknya adalah rakyat, kadewaguruan tidak berorientasi pada pendidikan duniawi, tetapi untuk pendidikan agama.
Kita tidak memiliki data mengenai apa yang tepatnya diajarkan di kadewaguruan.
Menurut arkeolog Hariani Santiko, kemungkinan besar para murid di kadewaguruan mendalami agama secara bertahap.
Di level dasar, para murid mempelajari tata susila, yakni sikap hidup yang baik, dan tata upacara, yakni penyucian jasmani dan rohani.
Di tahap berikutnya, mereka mempelajari filsafat dan ilmu keagamaan dalam ajaran inti, yakni konsep Realitas tertinggi, yang ada dalam Kitab Tutur.
Kitab Tutur adalah buku-buku keagamaan yang disusun sejak masa Mpu Sindok di abad ke-10 dan bersifat Siwa.