Di dekat kawasan inilah menurut Satar, Dempoee Ryoken dulu berdiri tegak. “Kalau sekarang, tidak ada lagi,” kata dia.
Sebab Satar melanjutkan, pada 1949, pejuang kemerdekaan membakar perumahan tersebut sampai tak tersisa lagi. Saat itu, seingat Satar, dirinya berusia sekitar 12 tahun.
“Kalau tidak salah ingat, kebakarannya malam hari,”kata dia mengenang. Jangankan penginapan, rumah sakit sampai perkebunan milik perusahaan Belanda juga dibakar ini dikenal sebuah aksi bumi-hangus.
Aryo pun mengakui aksi bumi hangus itu membuat bangunan Dempoe Ryokan menjadi sulit terlacak lagi. Tapi, dia menyebutkan, di beberapa titik bangunan, sisa-sisa bangunan masih dapat dilihat.
“Tanya saja orang-orangtua di sekitar sana, pasti tahu,”kata dia,
Yang tersisa dari Dempoe Ryokan yang sampai dengan saat ini adalah nama. Ya, Dempoe Ryokan ‘dipelesetkan’ menjadi Dempo Reokan. Kadangkala masyarakat Pagaralam menyingkatnya menjadi ‘Dempor’.
Mungkin hal ini, ujar Satar karena “Jeme kite tak bisa melafalkan kata ryokan. Jadi, disebutnya reokan,”kata dia.
Beda Jabatan, Beda Tempat
BILA Dempoe Ryokan diperuntukkan untuk kalangan menengah ke atas, lain halnya peristirahatan untuk kalangan ke bawah. Kata Satar, peristirahatan bagi pegawai Belanda golongan rendah bukan di Dempo Ryokan. “Ada di tempat lain .
Kalau sekarang lokasinya antara SDN 7 dan SDN 2. Bentuknya seperti bedeng panjang,” ucapnya.
Tempat peristirahatan untuk pegawai pribumi lain lagi. Bagi pegawai pribumi, disediakan tempat peristirahatan. Satar lupa bentuknya tapi yang pasti tak semewah tempat peristirahatan pejabat tinggi.
Sedangkan tempat tempat beristirahat bagi kaum saudagar berada di kawasan yang sekarang dikenal dengan sebutan Jembatan Beringin. Dulu, ujar Satar, di sana terdapat sebuah rumah berbentuk limas segi delapan tempat menginap kaum saudagar.
Orang-orang Pagaralam lebih mengenalnya dengan sebutan ‘ghumah kembang delapan’.