Pemkot PGA

Trunyan, Desa dengan Ritual Pemakaman Unik yang Memadukan Alam dan Budaya

Trunyan, Desa dengan Ritual Pemakaman Unik yang Memadukan Alam dan Budaya

Trunyan, Desa dengan Ritual Pemakaman Unik yang Memadukan Alam dan Budaya-Foto: net -

Mayat tidak dikuburkan atau dikremasi, tetapi hanya dibungkus kain putih dan diletakkan di atas tanah, kemudian ditutup menggunakan pagar bambu yang disebut sema wayah.

Area pemakaman memiliki batasan jumlah jenazah yang boleh diletakkan, biasanya maksimal 11 orang.

Jika jumlahnya sudah mencapai batas, jasad yang paling lama akan dipindahkan, dan tulangnya disusun rapi di lokasi tertentu.

Peran Mistis Pohon Taru Menyan

Keunikan lain dari pemakaman Trunyan adalah keberadaan pohon Taru Menyan, yang tumbuh tepat di tengah-tengah area pemakaman.

Pohon ini dipercaya mengeluarkan aroma alami yang kuat, sehingga mampu menetralisir bau jenazah meskipun tidak melalui proses pengawetan.

BACA JUGA:Menelusuri Sejarah Suku Kluet: Asal Usul, Budaya, dan Perannya dalam Keberagaman Aceh Selatan!

BACA JUGA:Jejak Budaya Maluku di Museum Siwalima: Dari Koleksi Sejarah hingga Kearifan Lokal

Keberadaannya dianggap sakral dan hanya terdapat di desa ini, menjadikannya bagian penting dari ritual kematian masyarakat Trunyan.

Filosofi Hidup dan Kematian

Tradisi Mepasah tidak sekadar warisan budaya, tetapi juga mencerminkan filosofi hidup selaras dengan alam.

Warga Trunyan meyakini bahwa tubuh manusia harus kembali ke alam secara utuh dan alami, tanpa perlu proses pembakaran atau penguburan dalam tanah.

Nilai ini selaras dengan konsep Tri Hita Karana, yang menjelaskan pentingnya menjaga keharmonisan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.

Meski mayoritas warganya beragama Hindu, masyarakat Trunyan tetap mempertahankan warisan Bali Aga yang lebih tua dibanding Hindu Majapahit.

BACA JUGA:Sejarah Rumah Adat Kalimantan Selatan: Mengenal Arsitektur dan Nilai Budaya Rumah Baanjung!

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait