Pemkot PGA

Perjanjian Giyanti: Luka dalam Sejarah yang Memecah Darah dan Tahta

Perjanjian Giyanti: Luka dalam Sejarah yang Memecah Darah dan Tahta

Tragedi Perjanjian Giyanti: Saat Persaudaraan Retak karena Ambisi Kekuasaan-Foto: net -

Perang saudara pun tak terelakkan.

Delapan tahun Jawa dilanda konflik, bukan hanya antara darah daging, tapi juga antara harga diri dan ambisi kolonial.

VOC, yang awalnya hanya berdagang, beralih menjadi pihak ketiga yang memainkan peran strategis.

Karena perang terlalu mahal, mereka akhirnya mengambil jalan tengah: membagi wilayah.

Lahir lah Perjanjian Giyanti.

Dalam satu naskah, Mataram resmi terpecah.

Pakubuwono III tetap berkuasa di Surakarta, sedangkan Mangkubumi mendirikan kerajaan baru di Yogyakarta.

BACA JUGA:Menelusuri Sejarah Gedung Juang Tambun: Saksi Bisu Perjuangan Rakyat Bekasi!

BACA JUGA:Menelusuri Sejarah Gedung Dwi Warna: Simbol Warisan Kolonial dan Nasionalisme!

Sejak saat itu, dua dinasti besar berdiri berdampingan—dalam kedamaian yang rapuh.

Namun Giyanti bukan sekadar pembagian wilayah.

Ia adalah bentuk kompromi pahit: menghentikan pertumpahan darah dengan pena, memilih jalan damai saat semua pilihan tampak sulit.

Mengalah bukan berarti kalah—tapi demi kelangsungan rakyat dan budaya.

Ironisnya, dari perpecahan tersebut justru muncul dua pusat budaya luar biasa.

Surakarta dikenal dengan kelembutan seni tari dan tradisinya, sementara Yogyakarta berkembang dengan kekayaan sastra, kerajinan, dan semangat perlawanan budaya.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait