Kerajaan Kaimana: Kerajaan Islam Tertua di Tanah Papua yang Pernah Diserang oleh Kerajaan Tidore
Kerajaan Kaimana, Kerajaan Islam Tertua di Tanah Papu-net-
Terletak di Semenanjung Bomberai, Papua Barat, Kerajaan Kaimana dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Rat, dengan pusat pemerintahan berada di Weri, Teluk Tunasgain, Fakfak.
Raja pertama Kerajaan Kaimana adalah Imaga, yang pada masanya berhasil menciptakan kondisi kehidupan masyarakat yang baik serta menjalin hubungan perdagangan dengan para pedagang dari Seram Laut yang mencari burung kuning, masoi, dan emas di wilayah tersebut. Hubungan ini berlanjut hingga terjadi pernikahan antara para pedagang dengan penduduk setempat. Setelah Imaga wafat, pemerintahan dilanjutkan oleh putranya, Basir Onin.
Di bawah pemerintahan Basir Onin, pusat kerajaan dipindahkan ke Pulau Adi, yang dianggap lebih strategis untuk pelayaran dan perdagangan menuju dataran Koiwai. Raja selanjutnya, Woran, meneruskan ekspansi dan pengaruh Kerajaan Kaimana dengan mengunjungi berbagai desa dan melakukan pernikahan di beragam lokasi.
Woran berencana untuk digantikan oleh putra mahkotanya, Wau’a, namun sayangnya sang raja meninggal pada usia yang masih muda sebelum bisa diangkat menjadi raja. Menariknya, pada masa pemerintahan Woran, Kerajaan Kaimana dikunjungi oleh Gajah Mada. Dalam catatan Empu Prapanca, tercatat adanya kunjungan tersebut ke suatu daerah bernama Sran, yang dilakukan oleh Patih Gajah Mada dalam rangka memenuhi Sumpah Palapa kepada Raja Majapahit.
Dalam kunjungan itu, Patih Gajah Mada memberikan seorang putri dan bendera merah putih kepada Raja Woran, sementara Raja Woran memberikan burung Cenderawasih (syangga) dan seorang putri raja untuk dibawa kepada Raja Majapahit.
Menginjak akhir abad ke-15, Kerajaan Kaimana terlibat dalam pertempuran melawan pasukan hongi Tidore dan mengalami kekalahan. Sejak saat itu, Kaimana harus mengirim budak dan burung kuning sebagai upeti kepada Tidore. Penaklukan ini juga menjadi awal masuknya Islam ke Kaimana. Sekitar abad ke-15 hingga ke-16, Raja Kaimana di Pulau Adi, Ade Aria Way, menerima ajaran Islam yang dibawa oleh Syarif Muaz, yang dikenal dengan gelar Syekh Jubah Biru, yang kemudian menyebarkan agama Islam di kawasan utara. Setelah menerima Islam, ia berganti nama menjadi Samai.
Pada awal abad ke-19, Kerajaan Kaimana dipimpin oleh seorang raja bernama Nduvin (Raja Sran ke-IV). Pada masa itu, pusat kerajaan masih berada di Pulau Adi, namun Raja Nduvin memindahkan pusat pemerintahan dari Borombow di Pulau Adi ke E’man atau Kaimana.
Nduvin menikah dengan putri Wai dari Bonggofut, yang bernama Ai. Ai berasal dari Gunung Natau di Kampung Faranyau dan memiliki nama lengkap Mimbe Werifun. Dari pernikahan ini, Nduvin dikaruniai seorang putri bernama Nawaratu, yang akrab disapa Naro'e. Selain Naro'e, Raja Nduvin juga memiliki keturunan dari Umburauw di Kampung Bahumia dan Ubia Sermuku.
Masjid Tua Patinburak: Jejak Dakwah Islam di Papua
Salah satu warisan dakwah Islam yang ada di Papua adalah Masjid Tua Patinburak, sebuah masjid berusia 1,5 abad yang terletak di Desa Patinburak, Kecamatan Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Masjid ini dikenal juga dengan sebutan Masjid Tua Patimburak.
Dikutip dari Kompas. com, masjid yang memiliki bentuk oktagonal ini memiliki ukuran sekitar 100 meter persegi dan memperlihatkan keunikan, terutama pada bagian ventilasinya yang berbentuk bulat. Desain masjid ini memadukan elemen Eropa dan Nusantara, dan ada pula yang berpendapat bahwa kubahnya mengingatkan pada gereja-gereja di Eropa pada zaman dahulu.
Mungkin saja perpaduan unsur-unsur ini muncul karena masjid tersebut dibangun pada tahun 1870, di masa pemerintahan Belanda. Namun, mengenai siapa sosok di balik pembangunan masjid ini masih menjadi perdebatan. Beberapa sumber menyebut Abuhari Kilian sebagai tokoh pembangun Masjid Tua Patinburak, sementara yang lain mengaitkannya dengan Raja Simempes, raja Petuar keenam yang dilantik oleh Sultan Tidore, Muhammad Taher Atking. Pembangunan masjid ini kemudian diteruskan oleh Raja Wertuar Ke-7, Waraburi, pada tahun 1886.
Menurut situs Bimas Islam, masjid tersebut secara resmi dikenal dengan nama Masjid Al-Yasin. Di tengah masjid terdapat empat tiang penyangga yang menyerupai struktur bangunan tradisional di Pulau Jawa. Interior masjid juga mirip dengan masjid yang didirikan oleh para wali di Jawa. Musa Heremba, imam Masjid Patimburak, mengungkapkan bahwa bangunan masjid ini telah mengalami beberapa kali renovasi. Bagian yang masih tersisa adalah empat pilar penyangga yang ada di dalam masjid, yang pernah terkena bom saat penjajahan Jepang.
Pada tahun 1942, masjid ini diperbaiki dengan mengganti atap rumbia menjadi atap dari seng gelombang. Kemudian, pada tahun 1963, dinding papan kayu diganti dengan dinding tembok rabik atau anyaman bambu yang diplester dengan semen, serta lantai tanah diganti dengan lantai semen.
Terkait dengan masjid yang sama, terdapat sebuah kisah menarik tentang pengeboman yang dilakukan oleh tentara Jepang. Pada waktu itu, masyarakat setempat mengumpulkan bagian mahkota masjid dan membawanya untuk disembunyikan di hutan. Setelah situasi membaik, mereka membawa kembali mahkota tersebut ke Kokas dan pada tahun 1947 membangun masjid baru dengan nama "Al Mujahidin", setelah Jepang kalah dari pasukan Sekutu, seperti yang tercatat dalam harian Kompas pada 30 Juli 2003 dalam rubrik "Indahnya Pantai Kokas dan Sejarah yang Penuh 'Misteri'".
Walaupun memiliki sejarah yang kaya, baik Masjid "Al Mujahidin" maupun Masjid Tua Patimburak (Masjid Al-Yasin) sulit untuk disebut sebagai tempat ibadah Islam pertama di tanah Papua. Sebelum berdirinya Masjid Tua Patinburak, menurut catatan dari Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala dalam buku "Masjid Kuno Indonesia", telah ada dua langgar yang dibangun di daerah tersebut, tetapi sayangnya, langgar-langgar tersebut tidak bertahan lama.
Pelayaran Spanyol yang dipimpin oleh Luis Vaez de Torres pada tahun 1606 ke daerah yang kini dikenal sebagai Papua Niugini mencatat banyaknya masyarakat Muslim di Fakfak, sesuai dengan keterangan dari tim Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Lebih jauh, Musa Heremba, yang diutip oleh Kompas. com, menjelaskan bahwa penyebaran Islam di Kokas tidak terlepas dari pengaruh Sultan Tidore, yang mulai memperkenalkan agama Islam di Papua pada abad ke-15, dengan Sultan Ciliaci sebagai sultan pertama yang memeluk agama tersebut.
Sementara itu, Umar Sabuku, Imam Masjid Nurul Falah di Kampung Bumi Surmai, Kaimana, menyebut bahwa kedatangan Islam dimulai oleh Imam Dzikir di Borombouw pada tahun 1405. Ia menyatakan, "Penyebaran agama Islam terjadi melalui interaksi perdagangan dengan para pedagang dari luar Papua, seperti yang berasal dari Sumatera, Sulawesi, dan Maluku. Imam Dzikir kemudian menetap di Pulau Adi dan mengajarkan Islam, yang diterima oleh keluarga kerajaan. "
Disadari bahwa masa keberadaan Islam di wilayah ini jauh lebih lama lagi. Menurut catatan harian Kompas pada tahun 2003, pada abad ke-12, Kecamatan Kokas telah menjadi pusat lima kerajaan, yakni Wertuar, Sekar, Petuanan Arguni, Petuanan Pattipi, dan Kerajaan Petuanan Rumbati, di mana mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, dengan beberapa di antaranya beragama Protestan dan Katolik.
Diperkirakan, kemunculan kerajaan-kerajaan tersebut bertepatan dengan masuknya Islam ke Fakfak, yang diduga dibawa oleh para pedagang Persia dan Arab. Pembahasan mengenai sejarah Islam di Papua memang tidak bisa dihindari, terutama mengingat adanya budaya unik di wilayah ini yang telah ada sejak lama. Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya Fakfak, Mustaghfirin, menyampaikan kepada harian Kompas pada artikel yang sama,
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
