Mengungkap Budaya Aneh Suku Toraja, Benarkah Orang Hidup Bisa Ngobrol Dengan Orang Mati?

Mengungkap Budaya Aneh Suku Toraja, Benarkah Orang Hidup Bisa Ngobrol Dengan Orang Mati?

Mengungkap Budaya Aneh Suku Toraja, Benarkah Orang Hidup Bisa Ngobrol Dengan Orang Mati?--

PAGARALAMPOS.COM - Mengungkap Budaya Aneh Suku Toraja, Benarkah Orang Hidup Bisa Ngobrol Dengan Orang Mati?

Suku Toraja, sebuah komunitas etnis yang berada di Pegunungan Sulawesi Selatan, Indonesia, telah lama dikenal dengan tradisi kematian yang unik dan mendalam.

Salah satu praktik yang paling mencolok dari kebudayaan Toraja adalah tradisi mendudukkan mayat mereka, sebuah ritual yang kaya akan makna dan warisan leluhur yang kuat.

Meskipun sebagian besar anggota suku telah menganut agama Kristen, tradisi ini tetap berlangsung dan berdampingan dengan kepercayaan leluhur (aluk todolo) hingga saat ini.

BACA JUGA:Warga Ucapkan Terima Kasih, Sudah Dibangun PSU Di Bumi Agung

Hanya Bangsawan yang Didudukkan

Tradisi mendudukkan mayat di Suku Toraja tidak diterapkan untuk semua jenazah atau anggota suku.

Hanya mereka yang berasal dari kasta bangsawan yang memiliki hak istimewa untuk menjalani ritual ini.

Ini adalah tanda penghormatan yang tinggi terhadap anggota masyarakat yang berasal dari strata sosial tertinggi dalam budaya Toraja.

BACA JUGA:Siap Jalankan Tugas dan Fungsinya, Hendro Maju Pileg Pagar Alam Dapil 3

Pakaian dan Perhiasan Kebesaran

Seorang suku Toraja yang telah meninggal dari kasta bangsawan akan didudukkan mayatnya. Mayat tersebut akan disiapkan dengan pakaian kebesaran berwarna putih.

Warna putih ini mempunyai arti simbolis yang mendalam, menggambarkan bahwa almarhum/almarhumah berasal dari strata sosial tertinggi dalam masyarakat Toraja.

Selain itu, mayat juga akan diberi perhiasan terbaik yang pernah dikenakan selama hidupnya.

BACA JUGA:Siap Jalankan Tugas dan Fungsinya, Hendro Maju Pileg Pagar Alam Dapil 3

Tiga Hari Peringatan

Selama tiga hari, mayat yang telah didudukkan akan ditempatkan di dalam rumah. Selama periode ini, sanak keluarga, kerabat, dan warga yang datang melayat akan berkumpul di sekitarnya.

Mereka akan duduk, berbincang, dan merayakan kehidupan almarhum/almarhumah seolah-olah orang tersebut masih hidup.

Ini adalah cara untuk mengenang dan menghormati orang yang telah meninggal, serta menguatkan ikatan sosial di antara anggota komunitas Toraja.

BACA JUGA:Ribuan Tahun Bersemayam Dalam Hutan Jati, Istana Ini Ternyata Warisan Airlangga, Siapakah Raja Ini

Persiapan untuk Rambu Solo'

Tradisi mendudukkan mayat di Suku Toraja adalah persiapan untuk ritual selanjutnya yang disebut "rambu solo'." Saat ritual ini dilaksanakan, mayat yang telah didudukkan akan diproseskan.

Salah satu aspek paling mencolok dari rambu solo' adalah pemotongan kerbau jantan. Setidaknya dua puluh empat kerbau jantan akan dipotong selama prosesi ini.

Tindakan ini melambangkan penghormatan dan penghargaan terhadap almarhum/almarhumah serta menunjukkan kemakmuran keluarga.

BACA JUGA:Ribuan Tahun Bersemayam Dalam Hutan Jati, Istana Ini Ternyata Warisan Airlangga, Siapakah Raja Ini

Meskipun agama Kristen telah mempengaruhi sebagian besar komunitas Toraja, tradisi mendudukkan mayat dan ritual lain yang terkait dengan kematian masih berlanjut dan dijaga dengan sangat kuat.

Ini adalah contoh nyata bagaimana budaya dan kepercayaan leluhur dapat tetap relevan dan hidup dalam masyarakat yang mengalami perubahan.

Tradisi mendudukkan mayat Suku Toraja bukan hanya warisan berharga bagi mereka, tetapi juga menjadi salah satu ciri khas budaya Indonesia yang patut dijaga dan dihargai.*

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: