Maldistribusi Tenaga Medis, Mengejar Dokter Spesialis hingga Ibu Kota
CANGGIH: MSCT dual source di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita itu disediakan Kemenkes. Fungsinya adalah mendeteksi kelainan atau penyakit pada jantung dengan lebih cepat. Penggunaan alat ini bisa memangkas durasi antre pasien. -Foto: net-jawapos.com
JAKARTA,PAGARALAMPOS.COM - Kesehatan itu mahal harganya. Kalimat tersebut klise. Tapi, itu adalah kegetiran bagi Tonny Frit Yoweni dan Lina Herlina. Mereka rela meninggalkan kenyamanan di kampung halaman, juga mengundurkan diri dari pekerjaan, demi mendapatkan layanan kesehatan yang dibutuhkan.
TONNY terpaksa terbang dari Teluk Bintuni, Papua Barat, menuju DKI Jakarta pada Agustus lalu. Itu setelah rasa nyeri di dadanya tak tertahankan lagi. Kecelakaan mobil yang dia alami pada 2013 mengakibatkan penyempitan pembuluh darah dan pembengkakan jantung. Maka, serangan nyeri di dada yang kadang kala seakan tembus sampai punggung mengharuskannya rutin berobat.
Bukan berobat ke sembarang dokter, tapi ke dokter spesialis jantung. Beruntung, ada dokter spesialis jantung di kabupaten tempatnya tinggal. ”Saya dirujuk ke Jogja atau Jakarta untuk penanganan penyakit jantung,” katanya kepada Jawa Pos saat ditemui di Rumah Sakit (RS) Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta pada pekan lalu.
Karena tekadnya untuk sembuh sudah bulat, Tonny pun bertolak ke Jakarta. Pegawai Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni itu tidak sendirian. Dia mengajak serta ibu dan istrinya. Artinya, biaya yang harus dikeluarkan Tonny untuk sehat tidak sedikit. Selain tiket pesawat dan obat-obatan, dia harus merogoh kantong biaya hidup di ibu kota. Untuk menyewa tempat tinggal, Tonny mengeluarkan biaya Rp 3,5 juta per bulan. Nasib baik, BPJS Kesehatan menanggung biaya perawatan Tonny. Yang perlu dia lakukan hanyalah memperbarui rujukan dari RS di daerah tempat tinggalnya. ”Desember lalu dikirim lagi surat rujukan BPJS Kesehatan dari Teluk Bintuni,” ungkapnya.
BACA JUGA: Tarik Persuasif, Pemda Berhemat
Di rumah sakit yang sama, Jawa Pos bertemu dengan Delima. Ada slang yang direkatkan dengan plester pada tangan sebelah kiri bocah berusia 1 tahun itu. Beberapa hari sebelumnya, dia baru menjalani operasi jantung. Buah hati Lina itu mengalami kebocoran jantung. Sang ibu tampak sangat berhati-hati menggendong Delima karena takut menyenggol slang di tangannya. Dalam dekapan ibunya, Delima terkulai lemah.
Demi kesehatan Delima, Lina meninggalkan kampung halamannya di Purwakarta. Dia juga terpaksa tidak bekerja agar bisa full menjaga Delima. Dua buah hatinya yang lain dia tinggal di rumah bersama sang suami.
”Harga” yang harus dibayar Lina agar Delima kembali sehat sangatlah mahal. Dalam kepenatannya, dia sering berangan-angan. Andai saja ada dokter spesialis jantung dan rumah sakit dengan alat kesehatan memadai di dekat tempat tinggalnya, tentu dia akan lebih leluasa mengatur waktunya. Dia dan sang suami bisa bergantian menjaga Delima. Setidaknya, Lina bisa mengistirahatkan badannya.
”Harapannya memang layanan kesehatan itu merata. Jadi, tidak perlu dirujuk jauh,” gumamnya.
BACA JUGA:Ciptakan Pekerja Profesional-Berintegritas
Tonny dan Lina hanya dua dari banyak penduduk yang terdiskriminasi karena tidak meratanya layanan kesehatan di Indonesia. Memang, pemerataan butuh waktu panjang. Selain sumber daya manusia (SDM), ketersediaan alat dan fasilitas kesehatan harus merata. Untuk penyakit jantung dan pembuluh darah, data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa baru 40 RS milik pemerintah yang mampu melayani cath lab. Sedangkan yang bisa melakukan operasi jantung terbuka hanya 10 RS.
Pribadi Wiranda, ahli bedah BTKV, menyatakan bahwa jumlah spesialis bedah toraks dan kardiovaskular di Indonesia hanya 165 orang. Saat ini ada 40.000 anak dengan kelainan jantung bawaan. ”Sebanyak 80 persennya harus dilakukan intervensi,” katanya. Ironisnya, jumlah dokter spesialis yang bisa menangani mereka hanya 17.
Dibandingkan penyakit jantung lainnya, menurut Pribadi, kasus kelainan jantung bawaan relatif sedikit. Sayangnya, hanya 19 RS yang bisa melakukan operasi jantung. Dari jumlah itu, yang bisa melakukan operasi bedah jantung untuk anak tidak sampai 10 RS.
Untuk kasus bedah jantung anak yang kompleks, hanya tiga RS yang mampu. RS Cipto Mangunkusumo dan RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita di Jakarta serta RSUD dr Soetomo di Surabaya. ”Ini karena tenaga ahlinya masih kurang. Juga soal pembiayaan. Tidak semua asuransi mau menanggung penyakit jantung bawaan,” tandasnya.*
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: jawapos.com