PAGARALAMPOS.COM - Indonesia dikenal sebagai negeri kepulauan dengan ribuan suku bangsa yang membentuk mozaik budaya yang sangat kaya.
Di antara gugusan pulau di Nusa Tenggara Timur (NTT), terdapat satu kelompok etnis yang memiliki sejarah panjang serta adat istiadat yang masih lestari hingga kini, yaitu Suku Sabu atau Suku Sawu.
Mereka mendiami Pulau Sabu, sebuah pulau kecil yang terletak di antara Pulau Rote dan Sumba. Walau wilayahnya tidak luas, kebudayaan dan sistem sosial masyarakatnya menjadikan Suku Sabu sebagai bagian penting dari kekayaan etnografi Indonesia.
Asal-Usul dan Persebaran Suku Sabu
Asal-usul Suku Sabu diyakini berkaitan dengan gelombang migrasi Austronesia dari Asia Tenggara ribuan tahun lalu.
BACA JUGA:Resep Mudah Seblak Ceker Kuah Pedas, Sensasi Pedas ala Masakan Rumah
Posisi geografis Pulau Sabu yang strategis di jalur pelayaran antara Flores, Timor, dan Sumba membuat masyarakatnya mudah berinteraksi dengan berbagai bangsa, termasuk pedagang dari Bugis, Makassar, Portugis, hingga Belanda.
Saat ini, populasi utama Suku Sabu berpusat di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, sementara sebagian lainnya tersebar di Timor, Kupang, dan beberapa kota lain karena faktor pendidikan dan pekerjaan.
Struktur Sosial dan Kekerabatan
Sistem sosial masyarakat Sabu dibangun di atas nilai kekeluargaan yang kuat. Mereka mengenal sistem adat Hubbu, yaitu jaringan kekerabatan yang menekankan pentingnya hubungan antaranggota keluarga dalam kehidupan sosial.
Suku ini menganut sistem patrilineal, di mana garis keturunan dan warisan diturunkan melalui pihak ayah. Laki-laki umumnya memegang peranan penting dalam urusan adat dan kepemimpinan, namun perempuan tetap memiliki posisi terhormat, terutama sebagai penjaga nilai tradisi, pengatur rumah tangga, dan penerus budaya keluarga.
BACA JUGA:Cara Membuat Chicken Katsu Simple, Sebuah Cita Rasa Autentik Masakan Jepang
Kepercayaan dan Religi Tradisional
Sebelum pengaruh agama besar masuk, masyarakat Sabu menganut kepercayaan lokal yang disebut Jingi Tiu. Dalam sistem ini, mereka memuja Dei Ama, dewa tertinggi yang diyakini sebagai pencipta alam semesta.
Ritual adat dilakukan untuk memohon hujan, kesuburan tanah, atau perlindungan dari penyakit dan bencana. Meskipun agama Kristen mulai dikenal sejak masa penjajahan Belanda pada abad ke-18, unsur-unsur kepercayaan Jingi Tiu masih tetap hidup dan diintegrasikan dalam berbagai upacara adat hingga sekarang.