Rani N.A: Media Sosial dan Kesehatan Mental Dilihat dari Fenomena Self-Diagnose, Labelling, dan FoMO

Rabu 14-05-2025,22:01 WIB
Reporter : Devi
Editor : Devi

PAGARALAMPOS.COM - Semua orang yang memiliki smartphone pasti sudah mengenal aplikasi-aplikasi tersebut.

Benar sekali! Aplikasi-aplikasi tersebut adalah contoh dari media sosial yang sedang digemari oleh masyarakat saat ini.

Media sosial atau yang biasa kita sebut sosmed adalah jenis platform internet yang memungkinkan penggunanya untuk mengekspresikan diri, berinteraksi, berbagi, berkolaborasi, dan berkomunikasi dengan pengguna lainnya, serta menciptakan hubungan sosial dalam bentuk daring (Nasrullah, dalam Muthmainnah dan Akbar, 2023).

Kemajuan teknologi membuat setiap orang tidak terpisahkan dari media sosial.

BACA JUGA:GRAND OPENING: Grand Opening Praktek Mandiri Psikologi Klinis Widya Putri Antika S.Psi., M.Psi., Psikolog.

Melalui media sosial, kita bisa mendapatkan informasi dengan sangat cepat, baik yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, pendidikan, atau informasi yang meragukan kebenarannya dan sering disebut hoax.

Informasi yang diambil dari media sosial dapat memberikan efek positif maupun negatif bagi penggunanya, sehingga dapat dikatakan bahwa media sosial memiliki dua sisi yang berbeda.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2025 diperkirakan jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 284,44 juta orang.

Distribusi populasi menunjukkan bahwa 59,5% tinggal di daerah perkotaan dan 40,5% berada di pedesaan.

BACA JUGA:Menghadapi Penderita Narsistik: Cara Efektif Menjaga Kesehatan Mental dalam Hubungan

Sedangkan berdasarkan data penggunaan media sosial dari We Are Social, pada tahun 2025, akan ada sekitar 143 juta pengguna, yang menunjukkan bahwa penggunaan media sosial hampir mencapai 50,2% dari total populasi Indonesia (wearesocial. com).

Jika kita mengamati di sekitar kita, pengguna media sosial sangatlah bervariasi, mulai dari anak-anak hingga orang tua.

Aplikasi yang dipilih pun biasanya disesuaikan dengan usia; anak-anak cenderung lebih aktif di YouTube, sementara remaja dan orang dewasa lebih sering menggunakan Instagram, Twitter, dan TikTok. Sedangkan orang tua umumnya lebih memilih Facebook.

Aplikasi WhatsApp, di sisi lain, digunakan oleh semua kelompok usia, karena aplikasi ini memfasilitasi komunikasi antar individu melalui pesan teks.

BACA JUGA:STOP! Jangan Abaikan Self-Care, atau Kesehatan Mentalmu Bisa Terancam!

Media sosial berfungsi sebagai platform untuk menyebarluaskan berbagai informasi.

Para pembuat konten atau kreator berusaha keras untuk menyajikan materi yang mampu menarik perhatian pengguna media sosial, seperti informasi seputar kecantikan, kuliner, parenting, eksperimen sosial, serta aspek yang berhubungan dengan kesehatan mental.

Para kreator, baik yang memiliki latar belakang profesional maupun tidak, membagikan beragam informasi, mulai dari pengenalan gejala gangguan mental, pengalaman pribadi, sampai tips untuk menjaga diri sendiri (Ismed, 2024). Selain itu, tren-tren yang viral di media sosial juga tak kalah menarik perhatian pengguna.

Dengan cepatnya penyebaran informasi di media sosial, ada beberapa fenomena yang belakangan ini banyak dibicarakan, seperti self-diagnosis, pelabelan, dan FoMO.

BACA JUGA:Hati-Hati! Era Digital Bisa Merusak Kesehatan Mentalmu Jika Tidak Melakukan Ini!

Fenomena-fenomena ini menarik untuk dibahas karena berkaitan dengan berbagai aspek, termasuk kesehatan mental pengguna, cara pengguna memilah informasi yang diperoleh, serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

Self-Diagnosis

Charlton (dalam Amrah, dkk. 2024) menjelaskan self-diagnosis sebagai proses di mana seseorang mulai menyadari adanya penyakit atau merasa tidak nyaman, lalu berusaha mengidentifikasi gejala-gejala yang dianggap spesifik dan diakui sebagai penyebab penyakit tersebut.

Seseorang dapat menganggap dirinya memiliki masalah kesehatan mental tertentu tanpa melakukan konsultasi langsung dengan profesional kesehatan, seringkali hanya berdasarkan informasi yang diperoleh dari media sosial (Ismed, 2024).

BACA JUGA:Rahasia Mindfulness: Teknik Sederhana yang Bisa Mengubah Hidup dan Menjaga Kesehatan Mental!

Salah satu contohnya adalah platform sosial Tik Tok, di mana menurut penelitian sebelumnya, Tik Tok dikenal sebagai media sosial yang kerap menyebarkan informasi yang menyesatkan mengenai masalah kesehatan mental (Yueng et al, 2022).

Dalam beberapa tahun terakhir, minat terhadap tema kesehatan mental meningkat, sehingga banyak akun yang membahas isu ini, termasuk berbagai jenis gangguan mental beserta ciri-cirinya, yang sering kali berasal dari sumber yang belum terverifikasi kebenarannya.

Tingginya biaya konseling serta rasa malu akibat dicap memiliki gangguan mental juga mendorong orang untuk melakukan self-diagnose.

Selain itu, Ahmed dan Samuel (2017) menjelaskan bahwa self-diagnose dapat dipicu oleh adanya faktor yang mempermudah, seperti adanya literatur psikologi dan sumber-sumber daring yang mudah diakses, serta informasi nonformal yang didapat dari teman atau kerabat.

BACA JUGA:Rahasia Kesehatan Mental Ibu Hamil dan Pasca Melahirkan yang Jarang Diketahui! Wajib Baca!

Karenanya, fenomena self-diagnose, khususnya terkait gangguan mental, masih sering terlihat di lingkungan sekitar kita.

Labelling

Labelling adalah proses pemberian label pada individu; dalam perspektif psikologis yang dinyatakan dalam A Handbook for The Study of Mental Health, label merupakan sebuah definisi yang, apabila diberikan kepada seseorang, akan menjadi identitas bagi individu tersebut, sekaligus menjelaskan tipe orang seperti apa dia (Al Tridonanto, dalam Hariandika dan Deswalantri, 2022).

Menurut Wahyuni, dkk (2022), labelling adalah penamaan atau julukan untuk seseorang yang menunjukkan gejala perilaku tertentu.

BACA JUGA:Jangan Abaikan! Ini Alasan Kesehatan Mental Lebih Penting dari yang Kamu Kira!

Dalam psikologi, labelling memiliki peran signifikan dalam diagnosis dan klasifikasi gangguan mental.

Psikolog, psikiater, serta tenaga profesional kesehatan mental lainnya menggunakan labelling untuk mendeskripsikan dan mengidentifikasi kondisi tertentu pada individu, guna menentukan intervensi atau terapi yang tepat.

Saat ini, di masyarakat, muncul fenomena di mana orang dapat dengan mudah melabeli gangguan mental pada orang lain hanya berdasarkan perilaku yang terlihat.

Sama dengan self-diagnose, individu juga mendiagnosis orang lain berdasarkan informasi yang diperoleh dari konten kesehatan mental di media sosial.

BACA JUGA:TERUNGKAP! Begini Cara Media Sosial Diam-Diam Merusak Kesehatan Mental Anda!

Misalnya, ketika netizen menempelkan label gangguan mental Narcissistic Personality Disorder (NPD) kepada seorang tokoh publik, label tersebut diberikan hanya berdasarkan spekulasi dari netizen, bukan oleh pihak profesional yang berwenang.

FoMO (Ketakutan Kehilangan)

Boneka Labubu, camilan milk bun, kromboloni, dan cokelat Dubai adalah contoh dari beberapa fenomena yang viral di media sosial Indonesia dalam beberapa bulan terakhir.

Boneka Labubu yang diperkenalkan pertama kali oleh artis K-Pop terkenal, Lisa dari Blackpink, telah menarik perhatian banyak orang dewasa untuk datang ke pusat perbelanjaan dan bersedia antre berjam-jam hingga tercipta kerumunan hanya demi memperoleh boneka tersebut, yang harganya cukup mahal.

BACA JUGA:Apa Solusi Untuk Menjaga Kesehatan Mental di Tengah Tren Gaya Hidup 2025? Simak Ulasannya!

Dalam dunia kuliner, terdapat dessert asal Thailand yakni milk bun, yang bisa dibeli melalui jasa pembelian atau jastip langsung dari Thailand. Banyaknya penggemar makanan ini menyebabkan lonjakan pemesanan.

Menurut berita, Bea Cukai telah menyita sekitar 2. 564 kotak atau sekitar 1 ton milk bun yang akhirnya dimusnahkan oleh BPOM karena melanggar peraturan dan undang-undang perdagangan (Tempo. com, 2024).

Selain itu, hadir juga kromboloni dan cokelat Dubai yang membuat masyarakat dari berbagai kalangan rela antre sebelum toko dibuka untuk mencoba sajian tersebut.

Orang-orang yang selalu mengikuti tren atau fenomena viral, serta merasa khawatir atau gelisah jika tidak terlibat dalam fenomena tersebut, dinamakan FoMO atau Ketakutan Kehilangan.

BACA JUGA:STOP! Jangan Abaikan Self-Care, atau Kesehatan Mentalmu Bisa Terancam!

Menurut Wahyuningtyas dan kawan-kawan (2025), fenomena Ketakutan Kehilangan (FoMO) adalah perasaan cemas ketika seseorang merasa telah kehilangan kesempatan untuk menikmati momen menyenangkan dalam hidup orang lain.

FoMO menjadi salah satu topik menarik dalam psikologi untuk diteliti.

Banyak studi menunjukkan bahwa fenomena FoMO memiliki dampak yang signifikan pada kesehatan mental.

Salah satu contohnya adalah platform media sosial TikTok, di mana menurut penelitian sebelumnya, TikTok dikenal sebagai platform yang sering kali menyebarkan informasi menyesatkan terkait kesehatan mental (Yueng et al, 2022).

BACA JUGA:Jangan Abaikan! Ini Alasan Kesehatan Mental Lebih Penting dari yang Kamu Kira!

Dalam beberapa tahun belakangan, minat terhadap isu kesehatan mental mengalami peningkatan, sehingga banyak akun yang membahas topik ini, termasuk berbagai gangguan mental beserta gejalanya, yang sering kali bersumber dari informasi yang belum diverifikasi.

Biaya konseling yang tinggi serta rasa malu karena dianggap memiliki gangguan mental juga mendorong orang untuk melakukan diagnosa sendiri.

Selain itu, Ahmed dan Samuel (2017) menjelaskan bahwa diagnosa sendiri bisa dipicu oleh adanya faktor yang memudahkan, seperti akses pada literatur psikologi serta sumber-sumber daring yang mudah didapat, dan informasi nonformal yang diperoleh dari teman atau keluarga.

Oleh karena itu, fenomena diagnosa sendiri, khususnya yang berkaitan dengan gangguan mental, masih sering terlihat di sekitar kita.

BACA JUGA:TERUNGKAP! Begini Cara Media Sosial Diam-Diam Merusak Kesehatan Mental Anda!

Pelabelan

Pelabelan adalah proses memberikan label kepada individu.

Dalam konteks psikologis yang tercantum dalam A Handbook for The Study of Mental Health, label merupakan sebuah definisi yang, apabila disematkan kepada seseorang, akan menjadi identitas bagi individu tersebut dan juga menggambarkan tipe orang seperti apa dirinya (Al Tridonanto, dalam Hariandika dan Deswalantri, 2022).

Menurut Wahyuni dan rekan-rekan (2022), pelabelan ialah penamaan atau sebutan untuk seseorang yang menunjukkan tanda-tanda perilaku tertentu.

BACA JUGA:TERUNGKAP! Begini Cara Media Sosial Diam-Diam Merusak Kesehatan Mental Anda!

Dalam psikologi, pelabelan berperan penting dalam diagnosis dan klasifikasi gangguan mental.

Psikolog, psikiater, serta profesional kesehatan mental lainnya menggunakan pelabelan untuk menjelaskan dan mengidentifikasi kondisi tertentu pada individu, demi menentukan intervensi atau terapi yang paling tepat.

Saat ini, dalam masyarakat, muncul tren di mana individu bisa dengan mudah memberikan label gangguan mental kepada orang lain hanya melalui perilaku yang tampak.

Seperti halnya diagnosis diri, orang juga menilai orang lain berdasarkan informasi yang mereka temukan di konten kesehatan mental di media sosial.

BACA JUGA:Jangan Sepelekan! Ini Dampak Mengerikan Kurang Tidur bagi Kesehatan Mental Anda!

Contohnya, ketika pengguna internet memberi label Narcissistic Personality Disorder (NPD) kepada seorang tokoh publik, penilaian tersebut biasanya berdasar pada spekulasi dari mereka, bukan oleh profesional yang berwenang.

FoMO (Ketakutan akan Ketinggalan)

Boneka Labubu, jajanan milk bun, cromboloni, dan cokelat dubai merupakan contoh dari beberapa tren viral di media sosial Indonesia dalam beberapa bulan terakhir.

Boneka Labubu yang pertama kali diperkenalkan oleh artis K-Pop terkenal, Lisa dari Blackpink, telah menarik perhatian orang dewasa untuk datang ke pusat perbelanjaan dan rela mengantri berjam-jam sampai terjadi kerumunan hanya untuk mendapatkan boneka tersebut, yang harganya cukup tinggi.

BACA JUGA:Sudah Coba Lilin Aromaterapi? Ini Manfaatnya untuk Kesehatan Mental!

Di bidang kuliner, ada dessert dari Thailand yaitu milk bun yang dapat dipesan melalui jasa pengiriman langsung dari Thailand.

Banyaknya penggemar makanan ini mengakibatkan lonjakan pesanan yang sangat cepat.

Berita menyebutkan bahwa Bea Cukai menyita sekitar 2. 564 box atau sekitar 1 ton milk bun yang kemudian dimusnahkan oleh BPOM karena tidak sesuai dengan aturan perdagangan yang berlaku (Tempo. com, 2024).

Selain itu, ada juga cromboloni dan cokelat dubai yang membuat berbagai kalangan masyarakat rela antri sebelum toko buka untuk mencoba makanan tersebut.

BACA JUGA:Meningkatkan Kesehatan Mental dengan Self-Respect: Kenapa Ini Sangat Penting?

Orang-orang yang selalu mengikuti tren atau fenomena viral dan merasa khawatir atau gelisah jika tidak terlibat dalam fenomena tersebut disebut FoMO atau Fear of Missing Out.

Menurut Wahyuningtyas dan rekan-rekan (2025), fenomena Fear of Missing Out (FoMO) adalah perasaan cemas yang muncul ketika seseorang berpikir telah kehilangan momen menyenangkan dalam kehidupan orang lain.

Fenomena ini menjadi salah satu topik menarik dalam psikologi.

Banyak penelitian menunjukkan bahwa FoMO memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kesehatan mental.

BACA JUGA:STOP! Jangan Abaikan Self-Care, atau Kesehatan Mentalmu Bisa Terancam!

Bagaimana Agar Mental Kita Selalu Terjaga?

Mendapatkan informasi dari media sosial itu mudah, yang bisa memberi dampak baik atau buruk tergantung pada respons penggunanya.

Informasi mengenai kesehatan mental yang diperoleh dari sosial media seharusnya dipandang sebagai pemahaman awal, dan tidak boleh menggantikan penilaian dari ahli (Ismed, 2024).

Beberapa langkah yang perlu kita ambil untuk mempertahankan kesehatan mental kita antara lain: mengurangi penggunaan media sosial secara berlebihan, sebaiknya waktu yang dihabiskan di media sosial tidak melebihi dua jam setiap hari.

BACA JUGA:Jangan Remehkan! Inilah Dampak Mengerikan Pola Tidur Buruk pada Kesehatan Mental Anda!

Menggunakan media sosial secara bijak dengan menyaring informasi yang diterima, mencari fakta dan kejelasan dari informasi tersebut, serta menghindari konten negatif yang dapat menyebabkan stres.

Menambah aktivitas lain, seperti menghabiskan waktu dengan orang-orang terdekat dan berpartisipasi dalam kegiatan yang menyenangkan, dapat meningkatkan kualitas hidup (Permatasari, dkk).

Meluangkan waktu untuk berolahraga, membaca buku, atau sekadar menikmati hobi yang dapat mengalihkan perhatian dari media sosial.

Hal terpenting adalah, jika ada perasaan “sesuatu yang tidak beres” dalam diri, jangan ragu untuk segera mencari bantuan profesional, seperti psikolog atau psikiater.

BACA JUGA:Sudah Coba Lilin Aromaterapi? Ini Manfaatnya untuk Kesehatan Mental!

Saat ini, proses konsultasi juga semakin mudah dengan adanya layanan online yang dapat diakses melalui media sosial.

Para profesional mampu memberikan pendapat dan solusi untuk mengatasi masalah yang dihadapi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kategori :