Ia bekerja sama dengan seorang pendeta lokal bernama Janabadra untuk menerjemahkan kitab suci Buddha Hinayana dari bahasa Sanskerta ke bahasa Tionghoa.
Ini menunjukkan adanya keragaman spiritual dalam masyarakat Kalingga kala itu.
BACA JUGA:Sejarah Benteng Marlborough: Jejak Kolonial Inggris di Tanah Bengkulu!
BACA JUGA:Menyikapi Kisah Sejarah Gedung Filateli Jakarta: Warisan Kolonial di Jantung Kota!
Garis Keturunan Jay Shima dan Warisannya
Jay Shima dan Kartikeyasingha memiliki dua orang anak, yakni Parwati dan Narayana atau Iswara. Parwati kemudian dinikahkan dengan Rahyang Mandiminyak, yang merupakan putra mahkota Kerajaan Galuh.
Dari pasangan ini lahirlah Sannaha, ibu dari Raja Sanjaya, pendiri Dinasti Sanjaya yang kelak memimpin Mataram Kuno.
Sementara itu, Narayana atau Iswara melanjutkan garis keturunan kerajaan Kalingga dan memiliki anak bernama Dewa Singha, yang kemudian memimpin wilayah Kalingga Selatan.
Melalui jalur ini, keturunan Jay Shima ikut memainkan peran penting dalam terbentuknya dinasti besar di Jawa, termasuk Dinasti Sanjaya yang membawa corak Hindu dalam pemerintahan Mataram.
BACA JUGA:Sejarah Rumah Residen Bone: Warisan Kolonial di Tanah Bugis!
BACA JUGA:Sejarah Penjara Kalisosok: Saksi Bisu Perjuangan dan Penindasan di Surabaya!
Kepemimpinan Jay Shima sebagai Ratu
Setelah wafatnya Kartikeyasingha pada tahun 674 M di Gunung Mahameru, Jay Shima naik tahta dan memimpin kerajaan.
Dalam perannya sebagai pemimpin perempuan, ia dikenal sebagai sosok yang tegas dan adil. Jay Shima mampu menjaga stabilitas wilayahnya serta melanjutkan kebijakan pemerintahan yang telah dirintis suaminya.
Kepemimpinannya memberikan warna baru dalam sejarah Jawa kuno. Ia tak hanya dikenang sebagai ratu yang kuat, tetapi juga sebagai pionir perempuan dalam dunia politik Nusantara.
BACA JUGA:Sejarah Istana Raja Bima: Simbol Kejayaan dan Budaya Kesultanan di Pulau Sumbawa!